Dua Puluh

1.2K 118 90
                                    

Natasha menatap kepergian Reyhan tidak percaya. Ia sudah kehilangan cintanya, apakah ia harus kehilangan sahabatnya juga?

"Sya, mana tuh anak-anak yang bikin Tasya jatoh kayak gini? Rey mau hajar. Enak aja mereka bikin sahabat Rey yang paling Rey sayang jatoh. Lagian kenapa Tasya nggak ngebales mereka aja sih?" Seorang cowok berumur enam tahun berkacak pinggang di depan Natasha kecil yang sedang mengusap kakinya yang terasa sakit.

"Mereka kan bareng-bareng, Rey. Tasya nggak mungkin bisa ngelawan mereka semua."

"Emang Tasya ngapain sih, sampe mereka ngedorong Tasya gini?"

"Tasya cuma bilang kalo mainan Tasya lebih bagus dari mereka semua. Mainan mereka jelek. Belinya nggak di mall." Natasha memegang tangan Reyhan yang sedang berdiri. "Tasya nggak salah kan, Rey?"

Reyhan mensejajarkan wajahnya dengan Natasha yang sedang duduk. Sambil balas menggenggam tangan Natasha kecil, ia menjawab, "Menurut Rey, Tasya itu nggak pernah salah. Sekalipun Tasya salah, Rey bakalan selalu belain Tasya kok. Sampai kapanpun. Rey janji."

Bohong! Reyhan bohong akan janjinya. Cowok itu bilang akan membelanya sampai kapanpun? Lalu kenapa hari ini ia tidak melakukan itu? Apa hari ini tidak masuk dalam arti 'kapanpun'?

Tak terasa air mata yang sedari tadi ia tahan keluar dengan derasnya. Sekeras apapun Natasha menangis, percuma. Reyhan tidak akan kembali untuk menghapus air matanya.

Salahkah Natasha jika ia hanya inginkan cintanya dan mengorbankan sahabatnya? Tapi mengapa saat ia tidak mendapatkan cintanya ia harus kehilangan sahabatnya juga? Hanya cowok itu yang mengerti Natasha, hanya Reyhan yang selalu bisa membuatnya merasa bahagia. Namun, cowok itu bahkan menyesal dengan apa yang dilakukannya selama ini. Cowok itu menyesal pernah berteman dengannya.

Natasha menunduk. Terisak dengan kencang. Ia ingin sekali berteriak agar sakit di dadanya hilang. Namun, Natasha tidak bisa. Tenggorokannya sakit. Dadanya sesak sehingga tidak ada yang bisa ia lakukan lagi selain menangis.

Andai saja Natasha tahu akibat dari tindakannya yang menyuruh sahabatnya mendekati Assyifa. Ia tidak akan pernah melakukannya. Lebih baik ia kehilangan cintanya daripada sahabatnya. Sungguh, ternyata rasanya lebih sakit ketika Reyhan pergi dibanding Kevin yang pergi.

Natasha tahu, Assyifa tengah tersenyum puas sekarang. Cewek itu pasti merasa lebih menang dari Natasha. Cewek itu senang karena telah mengambil dua cowok yang berarti dalam hidupnya. Ia sungguh-sungguh benci cewek itu. Apa sih yang cewek itu punya dan ia tidak punya? Kenapa seakan-akan semua cowok di dunia ini begitu memujanya?

"Tasya, lo kenapa?" Meski samar-samar, Natasha dengar itu. Namun, ia enggan mengangkat wajahnya hanya untuk melihat siapa pemilik suara itu.

"Sya?" Sekarang Natasha tahu suara siapa itu.

David.

Mengetahui Natasha tidak menjawabnya, David mengulurkan tangannya. "Mungkin lo butuh tempat buat nangis, Sya."

Natasha mendongak. Masih dengan terisak, ia menyambut uluran tangan David. Lalu memeluknya. Karena terbiasa bersandar, saat ini ia juga membutuhkan sandaran. Namun, sandarannyalah yang membuatnya menangis begitu hebat sekarang. Untung saja ada David. Meskipun Natasha terkadang membenci cowok itu ketika ia sedang menggodanya, ia sangat-sangat berterimakasih akan kehadirannya. Terkadang, seseorang yang kita benci, ialah orang yang selalu ada.

David balas memeluk Natasha. Sambil mengusap rambut cewek itu untuk menenangkannya, David berbisik, "Kenapa?"

Natasha tidak menjawab. Cewek itu tetap saja menangis di pundaknya. David tahu, apapun yang membuatnya menangis sekarang pasti menyakiti cewek ini amat dalam. Mengingat baru sebentar saja, pundaknya sudah basah karena Natasha menangis dengan hebat. Mungkin memang Natasha cengeng. Tapi dengan suara isak tangisnya yang sangat sarat akan luka, ini bukan perkara main-main.

SidenessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang