Dua

2.3K 187 46
                                    

Assyifa bergidik sendiri. Sambil geleng-geleng kepala, ia kembali memikirkan tragedi koridor kelas sebelas.

Tadi, ketika Assyifa disuruh Bu Nina mengumpulkan tugas Bahasa Indonesia, ia berpapasan dengan Kevin yang sedang menatapnya. Iya, Kevin. Yang kata Andita badboy itu!

Kalau saja ia berpapasan dengan orang lain yang bukan tukang rusuh, bukan yang berani melawan guru, bukan yang memiliki tindik di telinganya, bukan anak gila yang suka merokok, dan bukan anggota genk yang suka sekali menghuni kantin, ia tidak akan seheboh ini. Masalahnya, untuk apa cowok itu menatapnya seakan-akan dirinya adalah alien yang nyasar ke bumi?

Sumpah! Assyifa paling anti berurusan dengan orang-orang begajulan seperti itu. Ia hanya ingin belajar disini, lulus, lalu hidup dengan tenang tanpa gangguan.

Andai saja Mamanya waktu itu memasukannya ke sekolah yang agak benar sedikit. Tentu Assyifa tidak akan bertemu dengan makhluk-makhluk aneh macam mereka.

"Syif, masih waras kan?" tanya Andita yang sudah selesai menyalin PR Assyifa.

Assyifa mengernyit, sedetik kemudian ia tersadar bahwa ia terus menggelengkan kepalanya ketika melamun tadi. "Eh. I-iya lah."

Melihat sahabatnya menjadi gugup, Andita semakin bingung. "Kayaknya gue salah ya, ngebiarin lo ke ruangan Bu Nina sendirian. Tadi lo liat wujud aslinya, ya?"

Bu Nina memang dikenal galak. Padahal masih muda, tapi kegalakannya masuk dalam urutan ketiga di sekolah ini.

"Eh, nggak boleh gitu, Ta."

Andita memutar bola matanya. "Iya deh iya. Anak kesayangannya mah ngebelain mulu."

Selain galak, Bu Nina juga pilih kasih. Ia tidak pernah marah kepada anak-anak pintar seperti Assyifa. Sedangkan murid yang memiliki otak standar, jangan ditanya.

Belum sempat Assyifa menyangkal ucapan Andita, suara bel istirahat mendahuluinya.

"Nah, udah bel tuh. Kantin yuk, Syif." Andita menarik tangan Assyifa menuju kantin. Sementara Assyifa hanya bisa mengikuti langkah Andita yang besar-besar menuju kantin.

Seperti biasa, kantin ramai. Bahkan belum lima belas menit bel istirahat berbunyi. Assyifa mengedarkan pandangannya mencari meja kosong yang bisa ia dan sahabatnya tempati. Dan ia menemukannya di paling pinggir, jauh dari tempat penjual makanan. Assyifa berniat melangkahkan kakinya menuju meja itu. Namun, tangan Andita mencegahnya. "Lo beli makanan aja sana. Gue tunggu di situ. Soalnya, gue lagi males ngantri."

"Kok gue? Biasanya kan elo, Ta."

"Nah, justru itu. Kan biasanya gue, sekarang gantian elo. Gue mau nge-Line Xavi dulu."

Assyifa tahu bahwa dirinya jomblo. Tapi, mengirim pesan ke pacarnya bisa Andita lakukan setelah membeli makanan kan?

"Yaudah, mau apa?" Oh, ternyata Assyifa tidak berani mengatakannya langsung.

"Samain aja sama lo. Gue ke sana dulu, ya?"

Belum Assyifa menjawab, Andita sudah melengos ke meja kosong itu.

Dengan langkah berat, Assyifa berjalan ke penjual bakso.

Assyifa paling malas disuruh mengantri di kantin. Karena pasti ia akan berdekatan dengan makhluk-makhluk aneh–sebutan Assyifa untuk anak perempuan di sekolahnya yang sangat suka berdandan dan anak laki-laki yang acak-acakan. Tapi, mau diapakan lagi? Toh, cacing-cacing di perutnya sudah goyang gergaji.

Meskipun sekolah elit, tetap saja sistem kantinnya sama. Mengantri jika ingin membeli. Dan itu harus diikuti Assyifa juga. Biasanya ia yang ada di posisi Andita sekarang. Duduk dan browsing tentang kabar terbaru para idolanya sambil menunggu Andita membawa makanan. Ternyata rasanya seperti ini. Tau begini Assyifa tidak akan menyuruh Andita lagi. Lebih baik ia membawa bekal dari rumah.

SidenessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang