Awan kelabu menghiasi langit sore ini. Namun, itu tidak membuat seorang gadis berambut sebahu ini beranjak meninggalkan tempatnya. Ia tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum matahari berganti tugas dengan bulan atau hujan turun.
Ya, gadis ini Natasha. Sejak dua tahun yang lalu, ketika ia sudah keluar dari rumah sakit, penampilannya berubah drastis. Ia tidak menggunakan make up tebal lagi, tidak memakai rok dengan panjang satu jengkal di atas lutut lagi, dan tidak mewarnai rambutnya lagi. Maka itu, sejak saat itu hingga sekarang rambutnya berwarna hitam.
Tidak hanya penampilannya saja yang berubah, tapi sifatnya juga. Ia tidak lagi manja dan seenaknya lagi seperti dulu. Sejak kejadian itu, Natasha berubah menjadi dewasa. Dan itu karena seseorang. Seseorang yang sedang terbaring kaku terbalut gundukan tanah di hadapannya kini, Azva.
Sudah dua tahun terakhir ini Natasha tidak berhenti mengunjungi makam Azva setiap hari Sabtunya. Karena katanya, ia juga ingin berpacaran di hari Sabtu seperti orang-orang. Meskipun pasangannya tidak nyata.
Mungkin banyak orang yang mengatainya gila, tidak waras, atau semacamnya. Tapi Natasha tidak peduli. Ini hidupnya. Ia yang menjalani. Bukankah sedari dulu juga Natasha tidak pernah memedulikan perkataan orang lain?
Meskipun dikatai gila oleh orang-orang karena selalu mengajak batu nisan mengobrol, Natasha tetap melakukan itu. Ia yakin, sebenarnya Azva di atas sana mendengarnya. Dan mungkin bahkan membalas ucapannya juga. Hanya saja ia tidak bisa mendengarnya. Itu tidak masalah menurutnya. Selagi Azva bisa tahu jika Natasha di sini selalu mencintai cowok itu, itu sudah cukup.
Teman-temannya sering kali menyuruhnya untuk melupakan Azva. Namun, Natasha tidak bisa. Sudah dua tahun cowok itu meninggalkannya, namun rasa sayangnya malah semakin besar. Ia bahkan sangat mengingat bagaimana cowok itu tersenyum, bagaimana rasanya saat cowok itu memeluknya, bagaimana cowok itu menatapnya, bagaimana bakunya cowok itu ketika berbicara, bagaimana merdunya suara cowok itu, seberapa damainya wajah cowok itu saat tidur, dan banyak hal lainnya yang tidak bisa ia lupakan. Memang, ia bersama dengan cowok itu hanya sebulan. Namun, untuk melupakan cowok itu... rasanya Natasha tidak bisa sampai kapanpun.
Sekali lagi, Natasha tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang-orang. Yang jelas ia yakin bahwa Azvalah jodohnya. Jadi, Natasha tidak akan bisa jatuh cinta lagi kepada siapapun.
Karena mau bagaimanapun Azvalah jodohnya. Ia sudah menerima takdir jika ia tidak bisa bersama dengan siapapun di dunia asalkan di surga nanti Azva bersamanya.
Mungkin hal inilah yang membuat Reyhan memilih untuk berkuliah di luar negeri. Karena kata teman-teman cowok itu, Reyhan sampai sekarang masih mencintainya.
Natasha mengelus batu nisan Azva sambil tersenyum. Memang Natasha sudah tidak menangis lagi. Namun, rasa tidak rela itu masih ada. Mengapa orang sebaik Azva harus diambil Tuhan secepat itu? Kenapa bukan orang jahat saja yang diambil cepat oleh Tuhan? Ia masih belum puas dengan jawaban Maminya yang berkata, “Tuhan lebih sayang sama Azva. Tuhan nggak mau orang sebaik Azva menderita terlalu lama di dunia.”
Memang, Azva banyak menderita di dunia ini. Tentang penyakitnya, tentang keluarga yang tidak menganggapnya, dan segala macam penderitaannya yang lain. Namun, tetap saja Natasha tidak terima. Karena jika dunia tidak mau menerima Azva, Natasha mau menerimanya.
Tes.
Satu tetes air turun dari langit, dan diikuti oleh tetesan-tetesan lain. Natasha mendecakkan lidahnya sebal. Padahal ia masih senang berada di sini. Seperti dulu, ia ingin menghabiskan waktu senjanya bersama Azva. Namun, alam berkata lain. Alam seakan cemburu dengan kedekatannya dan Azva. Azva orang yang baik, siapa yang tidak akan cemburu kepadanya jika Azva memilihnya untuk menjadi cinta mati cowok itu.
“Va, aku pulang dulu, ya. Sebenernya aku masih mau sama kamu di sini, tapi yang ada Papi marahin aku kalau pulang sambil basah-basahan. Sabtu depan aku ke sini lagi kok.” Natasha mengecup batu nisan Azva lamat-lamat seakan mengecup cowok itu. Setelah itu, dijauhkan wajahnya dari batu nisan. “I love you.”
“I love you too.”
Tidak. Tidak mungkin itu suara Azva yang membalasnya. Bukannya ia takut, tapi selama dua tahun terakhir ini ia selalu mengucapkan kalimat itu di akhir kunjungannya dan tidak pernah ada yang membalasnya. Lagi pula suaranya berbeda. Karena ia ingat betul bagaimana suara Azva.
Natasha menolehkan kepalanya ke belakang tubuhnya. Dan di sana, beberapa meter darinya, berdiri seorang laki-laki berkemeja biru dengan kancing terbuka sedang menatap ke arahnya.
“Reyhan?”
Kenapa cowok itu bisa ada di sini? Bukankah cowok itu sedang berada di luar negeri?
***
21.05
Selasa, 25 Juli 2017.
a/n: Haiiiiiiiii aduh akhirnya setelah lima bulan kelar juga nih cerita wkwk.
Pokoknya thanks a lot buat kalian yang udah nyempetin baca cerita biasa aja ini. Ada yang baca aja udah seneng. Apalagi di vote, komen, sama direkomendasiin.
Udah ya, nggak ada extra part lagi nanti cuma direvisi aja ;v
Pokoknya sekali lagi makasih banyak :* tanpa kalian mungkin cerita ini nggak akan bisa tamat .-
Mungkin kalian bisa komen cerita ini tuh kayak gimana sih buat kalian? Wkwkwk
Udah ah, ini author notenya lebih banyak dari ceritanya -_
Salam babay dari Nat, Rey, Azva, Assyifa, Kevin, and the genk ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Sideness
Teen Fiction(Completed) Setiap cerita pasti memiliki peran antagonis. Ketika dua anak manusia sedang menjalin hubungan, pasti ada perusaknya. Kesal? Ya, kita pasti membenci perusak itu. Ketika kita sedang menikmati suatu kisah cinta, kenapa si perusak itu harus...