Delapan : Phobia

35K 2.3K 56
                                    

Ray, Reval, Raka, dan Rafa sedang ber-tos ria karena rencana nya berhasil.

Awalnya mereka mau membuat keempat orang itu terkunci, tapi ternyata hanya Artha lah yang masih berada di sekolah jadi hanya Artha lah yang terkena rencana yang di buat Raka.

"Gila, rencana kita berhasil bro." Raka merangkul Reval.

"Tumben otak lo lancar, encer, sampai lo bisa punya ide bagus kaya gitu." Rafa memakan snack nya.

"Biasa namanya juga gue." Raka menyombong kan diri.

Mereka bertiga tertawa terbahak. "Lo kenapa Ray?" Tanya Rafa.

"Hah? Ngak cuma mikirin sesuatu." Jawabnya dan kembali meminum kopi hitam miliknya.

Mereka berempat sedang berada di kafe yang tidak jauh dari sekolah, setelah mengerjai Artha mereka memutuskan untuk singgah di kafe ini sekalian merayakan keberhasilan mereka dalam mengerjai Artha.

"Perasaan gue ngak enak."

"Memang kenapa?" Tanya Reval.

"Ngak tau, kita ngak terlalu berlebihan ngerjain Artha?"

"Kok lo jadi peduli sih, Ray? Lo suka sama dia?" Tanya Rafa menyelidik.

"Gila lo mau di taro di mana pacar gue kalau gue suka sama Artha?"

"Eh, iya lupa." Rafa tepuk jidat.

"Ya udah, ayo kita lihat dia. Udah lebih dari sejam juga kita kunci dia." Usul Reval.

"Ayo." Mereka berempat keluar dari kafe itu, hanya perlu menyeberang saja untuk sampai di sekolah, mereka melompat pagar yang tinggi itu. Dan berjalan masuk ke kawasan sekolah.

"Paling juga dia udah pulang," kata Raka.

Mereka sampai di depan ruang musik. "Siapa tadi yang bawa kuncinya?" Rafa memberikan kunci itu ke Ray.

Keadaan di dalam sangat gelap, dan sekarang sudah terang kembali karena Reval sudah menyalakan sakelar utama lampu.

Mereka berempat mengedarkan pandangan nya, tapi tidak menemukan yang mereka cari. Saat mereka berbalik barulah mereka melihat Artha yang bersandar di dinding yang berada di belakang mereka.

"Ck, masih sempat tidur. Parah." Komentar Raka.

Ray berjalan mendekat ke arah Artha, Dia memindahkan rambut Artha yang menghalangi wajahnya.

Sekarang baru terlihat kalau Dia berkeringat, sangat banyak dan wajahnya terkesan pucat.

"Eh? Dia kenapa. Pucat banget." Tangan Reval terulur menyentuh dahi Artha. "Panas."

"Panas?" Raka membeo.

"Tha, Artha. Artha bangun." Ray menepuk-nepuk pipi Artha, tapi tidak ada respon dia sudah mengguncang-guncangkan tubuhnya tapi tetap saja tidak ada pergerakan.

"Ngak bangun, jangan-jangan dia pingsan lagi." Ucap Rafa. Ray dengan sigap menyelipkan tangannya di bawah lutut Artha dan di punggung Artha.

"Reval lo bawa tasnya, kita bawa di ke rumah sakit." Reval mengambil tas Artha kemudian membawa nya.

Sedang kan Ray menggendong Artha ala bridal menuju parkiran, Raka membantu Ray untuk membuka pintu mobil. Ray mendudukan Artha di samping kursi pengemudi dan memakai kan sabuk pengaman.

Untung saja tadi ada satpam yang berpatroli dan membawa kunci gerbang sekolah, jadi mereka bisa keluar lewat pagar.

"Ke rumah sakit mana?" Tanya Rafa.

"Rumah sakit keluarga gue aja." Setelahnya Ray masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di kafe yang tadi di datangi Ray dan yang lain.

Sepanjang perjalanan Ray sesekali menyentuh dahi Artha, yang panas nya semakin tinggi.

ANSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang