Satu

20.9K 1.4K 41
                                    

Kata teman-teman di sekolah Erisa, anak basket itu yang paling ganteng di sekolahan. Cowok-cowok disana tinggi, ganteng, berotot, dan playboy. Ralat, playboy hanya untuk beberapa saja. Setelah berita ditolaknya Erga anak kelas 3-1 beredar, Erisa mulai merutuki kebodohannya. Rasa bersalah, iya. Gak enak hati? Banget. Tapi herannya Erisa sama sekali tidak menyesal. Iya dia tidak menyesal, hanya saja salah timing kasih jawaban.

"Ris, lo jadi terkenal loh. Anak kelas sebelah pada ngomongin lo" Cikita sumber informasi dan komunikasi. Erisa beruntung punya teman seperti itu.

"Biarin saja sih. Toh dosa ditanggung masing-masing" Entah mengapa akhir-akhir ini Erisa banyak sembahyang hingga menyangkut pautkan segala sesuatu dengan hal-hal rohani. Bahkan pagi tadi ia menyempatkan diri solat dhuha, yang biasanya lima waktu aja sudah keajaiban dunia.

"Iya bener. Tapi mereka ngomongin yang baik-baik loh" nah, Erisa mulai tertarik dengan bahan obrolan kayak begini.

"Apaan?" Cikita tersenyum licik.

"Yah yang kayak begituan. Gak terlalu penting juga" Inilah kebiasaan mereka, saling bikin penasaran. Dan ujung-ujungnya main syarat-syaratan.

"Yaudah Ciki sayang maunya gue ngapain?"

"Temenin gue ke bandara jemput kakak"

...

Erisa sudah menelpon Ibunya meminta izin untuk menemani Cikita ke bandara. Karena sudah sore, Jakarta tambah macet. Selama di perjalanan mereka ditemani Bruno Mars dengan lagunya Versace on the floor.

"It's warmin up... can you feel it" sambil bernyanyi mereka bertatapan hingga,

"Hahahahaha!" Pak Wondo supir Cikita sampai heran melihat dua anak SMA itu tertawa histeris.

"Udah ah! Jangan mikir yang macam-macam. Sadar umur masih pake popok" Cikita mengingatkan.

"Hello? Sadar umur bu masih ngempeng" setelah itu mereka kembali tertawa. Pak Wondo kembali heran.

"Udah Ris, nanti ingatin gue ganti kasetnya pas ada Mas Idam. Bisa diceramahin kita berdua"

"Sipp"

Suara tante-tante memberitahukan bahwa penerbangan dari Sydney telah mendarat. Erisa mengikuti Cikita mendekat ke pintu kedatangan. Pak Wondo juga ikut berdiri disitu. Butuh beberapa menit hingga satu persatu orang keluar dari pintu kedatangan.

"Ciki, kakak lo ciri-cirinya bagaimana?" Erisa celingak celinguk melihat bule-bule berjalan dengan satu tali di bajunya.

"Ganteng kayak bokap"

"Ha? Serius nih"

"Liatin aja cowok Indo yang bikin hati lo klepek-klepek pada pandangan pertama" Yah kumatlah sudah Cikita. Erisa kembali memandang pintu kaca itu. Cuci mata liatin bule aja, pikirnya.

"Mas Idam!" mata Erisa melotot, tidak mirip Cikita. Beberapa kali ia coba mencari tahu dari mana gen yang didapatkan kakak Cikita untuk wajah itu. Kalau dibandingkan, orang yang namanya Idam terlalu ganteng untuk jadi kakak Cikita. Bukannya Erisa menganggap Cikita jelek, hanya saja manusia yang baru dilihatnya ini terlalu wah.

"Ciki! Kok masih pendek aja? Gak dikasih makan sama mama papa?" pertanyaan itu bukan untuk Erisa, tetapi malah gadis itu yang tersenyum malu-malu. Suaranya itu loh, ngebass banget cocok sama tampangnya.

"Enak aja! Mas Idam yang tumbuh ke atas. Kebanyakan makan kacang panjang di Sidney?" Idam hanya tertawa, tiba-tiba matanya melirik gadis seumuran adiknya. Yang dilirik berdiri kaku sambil natap sepatu.

ACCISMUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang