Delapan

6.6K 647 43
                                    

            

Erisa menekan tombol home dan power bersamaan yang diikuti bunyi jepretan screenshoot ponselnya. Gadis itu bersumpah tidak akan pernah menghapus chat itu. Bila perlu ia akan menyalinnya di word kemudian menprint-out menjadi beberapa lembar dan dilaminating. Hingga saat ini, Erisa masih tersenyum manis menatap rentetan huruf yang menurutnya aduhai bukan main.

            Ini yang namanya LDR alias long distance relationship. Erisa menarik kembali perkataannya dulu tentang orang bego yang mau pacaran jarak jauh. Sejauh film yang ditontonnya seputar LDR, pemeran pria hanya memerlukan modal pulsa dan kuota internet saja agar bisa mempertahankan status berpacaran. Sedangkan si pemeran wanita tidak perlu repot-repot mengeluarkan duit, toh pulsa tinggal minta kirimin pacar. Sisanya berkreasi di dunia nyata, cari cowok baru yang dekat rumah, sisanya dijadikan simpanan. Yang jauh hanya untuk kesenangan semata. Itu film tergila yang ditontonya dan ia berjanji tak akan terperdaya dengan film-film tak jelas seperti itu lagi.

            Besok adalah hari minggu. Erisa tidak perlu repot-repot pasang alarm dan bangun pagi. Tidak ada olahraga, tidak ada kerja bakti, tidak ada ekstrakurikuler, dunianya lengkap tanpa itu semua. Bangun jam sepuluh pagi dan pergi ke rumah Cikita jam dua belas siang, itu scedule yang diaturnya besok.

Erisa mematikan lampu, kemudian memejamkan mata. Satu detik. Dua detik. Tiga dekit. Empat detik.

"Kyaaaa!!! Ini bukan mimpi kan?! Gue belum bobo?!! Seriusannn?! Oh Tuhan!"

Tidak ada kata mengantuk. Erisa kembali duduk di atas kasur kemudian mengecek kembali ponselnya. Huft, masih ada chat Idam disana.

"Dan yang terakhir, saya belum sempat bilang kalau saya gak hanya sekedar suka sama kamu. Tetapi lebih dari suka. Kyaaaa!! Dia so sweet banget sih!! Makin cinta deh gue!!" tikus-tikus di atas genteng terbangun oleh kehisterisan gadis itu. Bahkan hantu-hantu yang lagi mangkal di depan rumah sampai terganggu. Semoga matahari yang lagi istirahat tidak terusik dan masih bisa bangun tepat waktu.

...

            "Idam, sudah dicek lagi? gak ada yang ketinggalankan?" Idam menggeleng. Nenek Rahma datang sambil membawa coklat panas.

            "Aman kok Nek"

            "Kamu jangan sampai lupa bawa ponsel lagi. Kemarin-kemarin balik ke Indonesia lupa bawa ponsel. Untung saja kamu masih ada niatan balik kesini. Nah, kalau sekarang kamu lupa bawa ponsel lagi, Nenek gak akan nerima alasan kamu lagi. Nenek gak akan biarin kamu balik lagi ke Indonesia. Sepi banget di rumah kalau gak ada kamu. Tantemu sama Vanessa gak ada lucunya sama sekali" Idam memeluk Nenek Rahma. Baginya, Nenek Rahma adalah Ibunya juga. Itu semua karena Idam memang tumbuh besar dengan Neneknya yang sangat memanjakannya.

            "Tenang saja Nek. Idam bakal sering-sering jengukin nenek. Asalkan Nenek kirimin uang tiketnya" kata Idam sembari tertawa. Nenek Rahma juga ikut tertawa.

            "Nenek bakalan nangis kalau ikut mengantar kamu ke bandara" kata Nenek Rahma. Wanita yang sudah beruban itu kemudian memberi pelukan hangat pada cucunya yang sudah menemaninya bertahun-tahun di Sydney. Idam membalas pelukan sang Nenek.

            "Gak perlu diantar. Nanti dikirain Idam pacaran sama nenek-nenek" Nenek Rahma mencubit pinggang cucunya itu.

            "Ampunnn Nek.. ampunn"

            "Mampus lo! Terus Nek, biar kapok dia. Masa habis jadian main ninggalin ceweknya di Indonesia" Vanessa datang entah dari mana ikut nimbrung. Idam menatapnya dengan jengkel.

ACCISMUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang