Tujuh belas

5.3K 482 5
                                    

Satu persatu siswa mulai berdatangan, Erisa juga baru saja tiba di sekolah. Sesuai arahan, semua murid berkumpul pukul 7 pagi di lapangan. Gadis itu menggendong satu tas ransel besar serta menenteng 3 paper bag ukuran sedang.

"Morning. Apaan tuh? Banyak banget bawaan lo" sapa Cikita. Ternyata gadis itu duluan sampai.

"Morning juga. Hari ini gue lagi berbaik hati. Ciki pasti belum sarapan" Erisa menyodorkan 1 paperbag kepada Cikita. Isinya ada satu kotak bekal dan sebotol air mineral.

"Wih, tumben baik. Tahu saja gue gak sarapan. Lebih tepatnya gak ada makanan sih di rumah"

Tentu saja. Erisa tahu kalau pembantu rumah tangga di rumah Cikita sedang pulang kampung. Dan baru hari ini Erisa tahu kalau Mas Idam sangat payah dalam hal memasak. Dia juga tahu kalau Cikita tidak pernah memegang pisau. Sehingga dia berinisiatif meminta Ibunya membuat bekal untuk mereka.

"Pasti yang satunya untuk Mas Idam yaa"

Mau bohong, gak bisa. Sudah jelas banget kalau yang satunya pasti untuk Mas Idam. Dari wajah malu-malu Erisa juga sudah kentara.

"Sekarang Mas Idam ada dimana?" tanya Erisa malu-malu. Matanya menatap kedua sepatu, tidak berani menatap wajah Cikita yang sudah senyum-senyum aneh.

"Yaelah, santai saja kali Ris gak perlu malu-malu sama calon adek ipar" uh, mulut Cikita memang tidak bisa dikontrol. Erisa tambah ngeblush saat mendengar kata 'ipar'. Emangnya mereka bakalan kawin?, batin gadis itu.

"Dih, jangan nambah kata-kata yang gak jelas deh Cik"

"Bukan gue loh yang mulai. Mas Idam duluan yang bilang, ekhem,"

"Jangan usilin Erisa dek, mulai sekarang dia calon kakak ipar kamu" kata Cikita sambil meniru gaya bicara Mas Idam.

Ada-ada saja kakak beradik itu. Gaya bicara ceplas-ceplosnya benar-benar mirip, gak heran kalau mereka berdua memang saudara kandung.

"Sudah deh jangan kebanyakan menghayal. Mas Idam ada disebelah sana. Buruan samperin, keburu diambil wewek gombel"

"Iyaa iyaa. Bawel banget"

Erisa melengos pergi. Jantungnya deg degan. Kira-kira apa yang harus dilakatakannya saat bertemu pria itu. Erisa berjalan sambil memikirkan beberapa kata.

"Erisa!"

Deg, itu suara Mas Idam. Heran banget, dari jarak 10 meter pria itu bisa menemukan tubuh Erisa yang bahkan terhimpit oleh beberapa orang. Erisa dapat melihat tangan seseorang yang melambai-lambai kepadanya. Ah, benar saja. Memang Mas Idam yang memanggilnya.

"Permisi.."

"Permisi.."

Erisa terkekeh geli melihat wajah pria itu yang masih pagi sudah menunjukkan cengirannya. Bahkan Idam sempat memberi cengiran pada seseorang yang memelototinya karena kakinya gak sengaja keinjak Mas Idam. Hingga pria itu menghampiri dirinya.

"Pagi Ris"

Wangi banget, batin gadis itu. Erisa menahan tampang bodohnya, jangan sampai dia senyum-senyum gak jelas di depan Idam. Gak banget.

"Ini bekal untuk Mas Idam" Idam menerima paperbag itu dengan senyum lebar. Baru kali ini Erisa memberikannya sesuatu dan senangnya bukan main. Erisa juga ikutan menarik sudut bibirnya. Ada rasa lega saat melihat pria itu menyukai pemberiannya.

Idam menatap jahil gadis itu. Ah, kumat lagi. Erisa mulai menebak-nebak apa yang dipikirkan Idam.

"Cikita juga dapat kok. Aku siapin bekal bukan cuma buat Mas Idam saja" jelas gadis itu. Erisa pikir sudah jelas apa yang ia sampaikan. Jangan sampai Idam duluan menggodanya. Terlalu banyak orang di lapangan dan Erisa belum siap menyembunyikan salah tingkahnya.

ACCISMUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang