November 1972
"Sinten ingkang Bapak temoni ing ngajeng kampung wau (Jadi siapa yang Bapak temui di depan kampung tadi?)"
Hariyadi Purnomo mendongakkan kepala. Pandangannya yang tadi fokus pada deretan angka di buku catatannya itu kini beralih ke Kinanti yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan mejanya.
"Siapa yang Bapak temui di dekat gapura depan kampung itu tadi siang?" Kinanti mengulang pertanyaannya karena tidak segera dijawab. "Aku tadi melihat Bapak bicara dengan seorang wanita berpakaian bagus yang turun dari andhong (Andhong = delman)."
Kinanti menarik kursi di seberang bapak, duduk menatap laki-laki itu dengan intens. Yang menjadi kusir andhong di kampung mereka hanya Mbah Walijo dan Mbah Supri, dia tidak mengenal kusir andhong yang siang tadi. Dia berkesimpulan bahwa wanita tadi berasal dari daerah lain.
Hariyadi menutup bukunya, lalu menghela napas panjang. "Ngomong opo koe iki, Nduk (Ngomong apa, sih, kamu, Nak? Nduk singkatan dari genduk, panggilan untuk anak perempuan di Jawa?)"
"Sinten, Pak?" Suara Kinanti lebih tegas. Memberi tanda bahwa dia serius.
"Sudah malam, kembalilah ke kamarmu!" Hariyadi meniup senthir di dekat jendela, ruangan itu jadi setingkat lebih gelap. "Bapak juga mau istirahat, besok harus ke kota pagi-pagi."
"Itu gundhik baru Bapak?" Kinanti malah semakin berani. Suaranya lirih, tetapi mampu membuat bapak tirinya itu menghentikan langkah. "Aku tidak akan ngadu ke ibu, Pak."
Ibu Kinanti, Hartiningsih, menikahi Yadi sekitar enam tahun lalu, saat usia Kinanti tujuh belas tahun. Hanya berselang setahun setelah bapaknya, Karto Marjono, hilang dalam operasi pembersihan besar-besaran pada Oktober 1965. Bapak kandungnya ikut diciduk dan tidak pernah ada kabar, apalagi kembali hingga sekarang. Yadi ini sepuluh tahun lebih muda dari ibunya. Karto menikahi Harti yang masih berusia enam belas tahun sebagai istri keempat. Setelah bapaknya pergi, ibunya menguasai semua harta peninggalan beliau dan membalas dendam atas masa mudanya yang direnggut. Lantas, dia menikahi pria yang jauh lebih muda darinya.
"Koe, kok, ngomong ngono, Kin (Kamu, kok, bicara begitu, Kin?)"
Yadi menatap gadis kurus berambut legam panjang itu. Bibir tipis, mata belok yang dinaungi alis yang melengkung indah, serta hidung yang mbangir. Wajah ayu itu seperti pinang dibelah dua dengan ibunya. Wajah Harti secantik itu, tetapi tidak mampu menggetarkan hatinya. Apalagi membuatnya jatuh cinta.
"Kula niku sampun apal kaliyan Bapak (Aku itu sudah hapal sama Bapak)." Kinanti meremas roknya yang ada di paha.
"Aku juga tidak memiliki hak untuk melarang Bapak. Tapi, bukankah lebih baik jika Bapak talak ibu dulu?"
Bapaknya masih muda. Kinanti juga mengakui kalau dia itu tampan. Sayangnya, dia dekat dengan banyak wanita, bahkan terkesan bermain-main dengan mereka. Seluruh warga kampung sudah tahu perilakunya dan banyak rumor buruk berembus tentang bapak mudanya itu. Itu salah satu caranya untuk balas dendam.
"Atau Bapak takut jika berpisah dengan ibu?" Ibunya mencintai Yadi dengan sepenuh hati, mendukung apa pun yang ingin dia lakukan. Ibu memberinya cukup modal untuk berdagang dan menambahnya lagi jika mulai menipis. Itulah kesalahan ibu hingga membuat Yadi jadi sedikit pongah. Dia pintar berdagang hingga menghasilkan banyak uang, punya banyak kenalan sampai dia pikir bisa berbuat semaunya di luar sana. Ya, di tempat yang tidak bisa dijangkau mata ibu.
"Duit Bapak belum cukup jika berpisah dengan ibu? Ngeten (begitu?) Duit Bapak belum cukup untuk menghidupi wanita-wanita Bapak?" Walaupun ibunya kadang otoriter, Kinanti tetap tidak tahan saat wanita yang telah susah payah melahirkannya itu disakiti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)
Mistério / Suspense((TELAH TERBIT)) Agus Supriyatno hidup di tahun 1973 dan dituduh menjadi pelaku pemerkosaan dan pembunuhan. Agus nyaris mati, namun sebelum menutup mata dia sempat meminta pada Tuhan agar dilindungi. Tuhan mengabulkan doanya, Agus membuka mata di ta...