17

126 17 3
                                    

"Mau dibawa ke mana itu?"

Mendengar seruan itu, Agus yang sedang menggigit kerupuk menghentikan langkah kakinya di depan kamar si empunya rumah. Berkat Selena, mereka pulang dengan selamat. Selena baru saja pamit untuk memeriksa keadaan di sekitar rumah. Entah sekarang ada di mana dia.

Melody yang bersila di atas tempat tidur pun melambaikan tangan. Ini sudah jam dua pagi. Karena begitu sampai di rumah, dia dan Agus sibuk mengobati luka di sekujur tubuh. Rasa lapar itu pun terlupakan.

Agus meletakkan seplastik kerupuk yang hendak dibawa-nya ke belakang di pangkuan Melody. "Habiskan saja semuanya!"

"Ada yang lain, nggak?" Melody nyengir.

Agus kembali berjalan terpincang-pincang ke dapur. Hanya ada mi instan, nasinya basi karena sudah dari kemarin. Melody makan dengan hati-hati karena panas. Rahangnya pun serasa mau lepas saat dia membuka mulut.

"Sebentar!" Agus pergi lagi mengambil air hangat untuk mengompres pipi Melody yang lebam. Sekejam apa pun papanya, belum pernah sekali pun menamparnya.

"Ho hak ha-kan (Lo nggak makan)?" Bahkan untuk bicara pun susah. Saat isi mangkuknya tinggal sedikit, Melody sadar Agus malah sibuk mengobati lukanya.

"Nanti saja." Minya tinggal satu-satunya dan Agus mengalah makan kerupuk saja. Eh, malah diminta semua sama Melody.

Melody mengikat kembali plastik kerupuk itu, lalu memberikannya ke Agus dengan setengah tidak rela. Dicelupin kuah mi, rasanya enak juga.

"Di hini, nih, hakit hanget (Di sini, nih, sakit banget)." Melody menepuk lututnya. Ada goresan yang cukup panjang di sana. Agus meletakkan kakinya di atas bantal, kemudian mengoleskan salep dengan telaten.

"Hangan-angan, tulang husuk gue hatah, hagi. Aduh, hakit hanget (Jangan-jangan, tulang rusuk gue patah, lagi. Aduh, sakit banget)." Melody memegangi perutnya. Dalam mimpi buruknya sekalipun, dia tidak pernah membayangkan akan melompat dari lantai dua. Mungkin kalau kepepet, dia bisa mencoba jadi stunt woman.

Melody berhenti mengerang ketika mendapati Agus menatapnya tanpa berkedip. Dia merebut kompres dari tangan Agus. "Hana yang hakit? Hini hantian (Mana yang sakit? Sini gantian)."

"Maaf, ya, saya jadi banyak ngerepotin Mbak Melody," kata Agus saat Melody menempelkan plester di keningnya. Ditatapnya Agus dari jarak dekat. Hidup Melody jadi makin sulit semenjak Agus datang.

"Lebay, lo." Melody mendorong mundur kepala Agus. "Udah, halik badan biah gue pehiksa punggung lo (Udah, balik badan biar gue periksa punggung lo)."

Agus menjerit-jerit ketika Melody memukul punggungnya pelan.

"Jangan teriak, nanti tetangga hangun. Tehiak-tehiak udah kayak anak pehawan di sahang pehamun aha (Jangan teriak, nanti tetangga bangun. Teriak-teriak udah kayak anak perawan di sarang penyamun aja)." Melody memukul punggung Agus dengan kepalan tangan. Agus langsung meloncat sambil mengaduh-aduh. Melody tertawa penuh kemenangan.

"Pelan-pelan, Mbak, sakit ...." Agus menggigit bibir ketika Melody akhirnya berhasil memaksanya membuka kaus. Melody kaget karena punggung Agus penuh luka. Luka dulu yang belum pulih dan luka karena meloncat dari lantai dua.

"Besok kita ke rumah sakit lagi, ya!" Hanya berdarah saja membuat meriang, apalagi yang sampai babak belur seperti itu.

"Nggak usah, Mbak, nanti juga sembuh sendiri."

Dan di sana, Selena—yang bersandar di bingkai pintu— berdeham ketika melihat sebuah pemandangan baru. Agus menyelimuti Melody yang sudah tertidur. Dia pura-pura batuk ketika Agus melewatinya. Tentu saja Agus tidak bisa mende-ngarnya.

Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang