3

253 29 12
                                    

Sebuah rumah mungil berada di kawasan pinggiran kota yang belum terlalu ramai. Halaman rumputnya yang hijau, pohon mangga yang rindang, dan mawar-mawar merah jambu yang berderet di pot kecil di bawah jendela. Hujan sejak pagi, tetapi matahari muncul di sore hari. Hangat, tidak terlalu menyengat. Membuat sisa air di dedaunan dan kelopak mawar menjadi berkilau. Ada ayunan kecil di depan rumah dan kursi kayu tua di bawah pohon mangga.

Walaupun tidak tahu ini di mana, tetapi Agus tahu kenapa terdampar di tempat asing ini. Ini adalah tempat yang dia bayangkan terakhir kali dalam doanya. Tempat aman yang dia inginkan. Sayangnya, dia hanya sendiri, tidak bersama Kinanti. Dia telah berdoa seumur hidupnya, memohon macam-macam pada Yang Kuasa. Dan yang ini paling cepat dikabulkan. Yang Kuasa melindunginya lewat sebuah keajaiban.

Melody menghela napas. Dia yang seorang wanita sedang kerepotan menurunkan barang dari taksi, sedangkan laki-laki itu malah lena angkat bahu. "Ini rumahku."

Melody meletakkan tas yang cukup berat di jalan setapak kecil yang membelah halamannya. Sebenarnya, dia hanya memberi kode bahwa tas itu berisi semua pakaian Agus. Kemarin itu, dia membeli pakaian yang sudah setengah pakai.

"Di sana!" Melody menunjuk bangunan kecil dari kayu, tidak jauh dari rumahnya. "Itu gudang yang bangunannya terpisah, kamu bisa tinggal di sana setelah dibersihin. Nggak baik tinggal serumah, bukan mahram." Dia memutar kunci, lalu tampaklah ruang tamu rumahnya. "Ayo, masuk!"

Selena mendorong Agus. "Masuk, buruan! Nanti dilihatin tetangga, bisa digosipin."

"Duduk dulu, aku buatin minum." Melody menunjuk sofa, lalu membuka gorden biru agar tidak pengap.

"Mau kopi? Teh? Atau soda?" Dia nyengir. Selena sudah membuka kulkas, menunjuk minuman kaleng dengan dagunya. Dia punya firasat orang asing yang mereka bawa itu tidak kenal minuman kaleng. Dan benar saja, minuman itu muncrat ke mana-mana ketika Agus membukanya. Selena terbahak-bahak hingga memukuli meja ketika Agus melet-melet karena rasa lemon setelah minum satu tegukan. Melody memelototinya. Diam, Selena. Dia mengambil gelas dan memindahkan minuman itu ke sana.

"Silakan, adanya cuma ini."

Melody juga menyuguhkan tartlet buah dari Pak Frans tadi pagi. Agus mengamati makanan itu dengan saksama. Cantik dengan buah berwarna-warni. Rasanya juga manis, Kinanti pasti suka.

"Itu namanya tar-tlet. Aduh, kita harus mulai dari mana, ya?" Melody berdiri sambil berkacak pinggang.

Setelah berpikir panjang dan berdebat dengan Selena, akhirnya dia membawa Agus pulang. Mereka urung mengirimnya ke dinas sosial. Agus selalu bungkam di depan polisi setiap ditanyai. Sulit dipercaya bahwa dia berasal dari empat puluh tiga tahun lalu. Untuk itulah Melody ingin menyelidikinya dulu. Sudah dua puluh tiga tahun dia berteman dengan hantu—sesuatu yang sulit dipercaya orang-orang di sekitarnya—tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Dia sedang meyakinkan diri untuk percaya bahwa Agus telah pergi menembus ruang dan waktu. Kata Selena, kalau dia benar-benar seorang time traveler, mereka harus melindunginya sebelum ketahuan orang lain.

Melody memperhatikan pria di depannya itu. Tingginya lebih dari seratus tujuh puluh, rambutnya gondrong—walaupun sebagian sudah dipotong saat operasi, dan kulitnya cokelat kusam.

"Kue yang kamu makan itu punya nama, jadi kamu pasti punya nama, 'kan?"

Agus menunduk, berhenti makan. Selena mendekat dan duduk di sampingnya, menatap sambil bertopang dagu.

"Sel, udahlah."

Agus menatap Melody, udara kosong di sampingnya, lalu kembali menunduk.

"Bisa kamu jelaskan ini? Apa kamu amnesia? Ngomong, dong!" Melody mengeluarkan bungkusan plastik bening dari sakunya. Tiket bioskop itu. "Kertas yang usianya empat puluh tiga tahun pun kuningnya bukan seperti ini." Kertasnya kuning karena memang kualitasnya yang buruk, bukan termakan usia. "Buat apa kamu menyimpan tiket bioskop selama puluhan tahun, hah? Usia kamu belum ada segitu, 'kan? Kalau gitu, ini tiket siapa? Atau, kapan tiket bioskop ini kamu beli? Kapan filmnya tayang?"

Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang