19

137 19 6
                                    

Aku ini penjaganya Melody. Jangan coba mengganggunya atau kamu akan kubawa ke neraka!

Hariyadi Purnomo telah menatap selembar kertas itu berjam-jam, namun tidak ada yang berubah. Isi atau bentuk tulisannya. Dia mengusap wajahnya frustrasi. Dia orang yang percaya pada kehidupan di luar manusia. Walaupun dia belum pernah berurusan secara langsung dalam tujuh puluh empat tahun hidupnya. Tidak ingin juga.

Dia memejamkan mata sejenak, membiarkan pikirannya mengembara. Tak lama, dia menatap kertas itu lagi sebelum beralih ke selendang kuning yang terlipat rapi di atas meja kerjanya.

"Pak!" Pintu diketuk dengan sopan. Bibi pengurus rumahnya. "Pak Adnan sudah datang."

"Suruh tunggu sebentar." Hariyadi memberesi barang-barang di atas meja, lalu mengeluarkan pulpen berwarna biru dari laci. Dia menatap pulpennya, menekan ujungnya dan terdengar bunyi berderak. Rak bukunya bergeser.

Pintu itu membuatnya sangat terkejut ketika tempo hari dia mendapatinya terbuka. Yang tahu cara membukanya hanya dia dan si pembuat pulpen. Bibi dan satpam sampai gemetar ketakutan ketika dia murka. Untung tidak ada yang rusak atau hilang. Mungkin pintunya tidak sengaja terbuka karena pulpennya jatuh.

Hariyadi masuk melewati pintu yang baru saja terbuka itu, lalu menatap lukisannya. Dia tersenyum pada potret Sekar yang ada di dinding. Dia berbisik lirih, "Terima kasih karena sudah menungguku hingga selama ini."

Dia mengambil buku tua bersampul cokelat dari balik lukisan, lalu menyelipkan kertas yang tadi ditekuninya di sana. Selendang itu dia letakkan di atasnya dan menutup kembali lukisan itu.

"Pak." Hanya beberapa saat setelah pintu ruang rahasianya tertutup, Adnan muncul di pintu." Ada dokumen yang harus Bapak tanda tangani." Adnan menyerahkan map di meja.

"Kantor lancar, Nan?" Hariyadi meraih kacamatanya sembari tersenyum lebar.

"Bapak tenang saja. Kelihatannya ada yang membuat Bapak senang hari ini, ceria sekali." Adnan melihat raut bosnya itu beda dari biasanya.

"Kunci umur panjang itu hati yang bahagia, Nan." Hariyadi menutup map dan mendorongnya kembali ke Adnan. "Di kantor ada Doni, 'kan? Kamu tidak usah balik ke kantor. Ayo, kita jalan-jalan!"

Adnan menatap Hariyadi tidak percaya. "Lepas jasmu itu, kita akan santai-santai."

"Ke mana, Pak?"

"Nanti kutunjukkan, ayo!"

**

"Nan, berhenti di situ!" Setelah hampir empat puluh menit perjalanan, Hariyadi menyuruh Adnan menghentikan mobil di pinggir jalan. Adnan sedikit curiga karena beberapa kali bosnya mengulum senyum.

"Tidak salah, Pak?" Tempat itu restoran kecil di pinggir jalan.

"Aku ingin makan gudek dan minum teh poci gula batu." Hariyadi turun lebih dulu, lalu menatap spanduk yang tergantung. "Gudeknya asli Jogja, sudah ada sejak 1969. Ayo, makan!"

Mereka duduk di sudut. Adnan saja agak risi karena tempat itu sempit dan lumayan ramai.

"Pak, di sini nggak ada teh poci gula batu," bisik Adnan setelah melihat daftar menu. Kayaknya bosnya itu kesambet.

"Kalau kamu minta, ya, ada. Pak Slamet!" Hariyadi melambaikan tangan pada seorang laki-laki berambut putih. Sepertinya sudah lama kenal.

"Wuih, Pak Yadi, toh?" Kemudian, mereka berbasa-basi dalam bahasa Jawa. Adnan jadi nyamuk.

"Nah, ini selera Pak Yadi, pakai gula batu spesial dan perasan jeruk." Pak Slamet menghidangkan minuman lebih dulu. Adnan mengernyit, benar-benar pakai poci dari tanah liat.

Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang