25

104 20 9
                                    

Akhir Februari 1973

"Kita pergi dari sini, Kin, kemasi semua yang mau kaubawa!"

Kinanti mendongakkan kepala. Ibunya berdiri di pintu kamar, tidak ada nada main-main dalam ucapannya.

"Rumah ini akan kujual, biyungmu yang lain akan kupulangkan. Cepat berkemas!"

Kinanti mengusap matanya yang sembap, lalu meneruskan kegiatannya—melamun. Dia tidak akan pergi ke mana-mana. Dia akan menunggu Agus kembali dan mendengarkan penjelasannya.

"Apa yang mau kaubawa? Kenapa belum berkemas juga?" Satu jam kemudian, ibunya kembali masuk dan langsung menutup jendela karena sudah lewat magrib.

"Ibu mawon. Kula teng mriki mawon (Ibu saja. Aku di sini saja)."

Suaranya kecil karena terlalu banyak menangis.

Ibunya berkacak pinggang. "Arep ngapa kowe ning kene? (Mau apa kau di sini?) Mau mendengarkan gunjingan orang? Semua orang membicarakanmu sekarang."

"Aku akan pergi setelah Mas Agus pu—" Belum selesai Kinanti bicara, ibunya sudah menggebrak meja.

"Sebetulnya, dia sudah memikatmu dengan aji-aji apa? Sadarlah, Kin, dia orang bejat. Dia sudah lari, dia tidak akan kembali. Dia mungkin sudah mati dimakan macan di hutan."

Kinanti menatap ibunya dengan air mata berlinang. Hatinya sedang remuk redam, begitu tega ibunya menaburinya dengan garam. "Mas Agus difitnah. Mas Agus tidak mungkin melakukan hal seperti itu." Agus hanya mencintainya. Agus tidak mungkin memandang wanita lain, apalagi sampai melakukan perbuatan yang lebih rendah dari binatang. Walaupun miskin, namun Agus sangat tahu soal sopan santun dan agama.

"Wanita itu menulis surat, kau membacanya sendiri. Dia hamil karena pacarmu yang bejat itu," desis ibunya.

"Itu akal-akalan Ibu. Itu bukan tulisan Sekar. Aku melihat tulisannya di buku bapak, tulisannya tidak seperti itu." Tulisan Sekar sangat rapi, tidak seperti surat yang dibacanya. Tulisan itu sekarang sudah tidak terbaca, luntur oleh air matanya. Surat yang dia genggam di hari hujan saat dia melihat Agus untuk terakhir kalinya. Seharusnya, hari itu dia berpikir jernih dan berlari menyusulnya. Bukan meragukannya karena selembar tulisan tangan.

"Ibu yang melakukannya. Mas Agus tidak salah apa-apa. Kenapa Ibu setega ini?" Pertahanan Kinanti roboh, dia meneriaki ibunya.

"Kau tanya apa salahnya?" Harti ganti berteriak. "Salahnya adalah dia tidak mau menjauhimu. Dia tidak tahu diri mendekati anak wadon-ku." Matanya berkilat penuh kemarahan. "Cepat berkemas dan kita pergi dari tempat terkutuk ini."

"Kinanti tidak akan ke mana-mana." Hariyadi melangkah masuk. "Kalau kau ingin pergi, pergilah sendiri! Kalau kau menghilang secara sukarela, aku tidak akan melaporkanmu pada polisi." Dia menuding wajah Harti. "Kinanti akan di sini bersamaku."

"Ba-pak ...." Kinanti bersembunyi di belakang Yadi.

"Aku pastikan akan menutup mulutku sampai mati jika kau mau pergi tanpa Kinanti."

Tangan Harti terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Kau ...."

"Aku akan menutup mulut soal apa yang telah kaulakukan pada Sekar dan Agus. Juga apa yang kau dan orang-orang itu rencanakan, tapi enyahlah kau dari tempat ini!" Tanpa Sekar, dia tidak tahu bisa hidup atau tidak.

"Dasar kau tidak tahu diuntung. Aku memberimu begitu banyak uang, tapi kauhabiskan untuk pelacur itu. Aku yang selama ini sudah bersabar dengan semua yang kudengar dari orang-orang. Aku bersabar melihat kelakuanmu dengan para wanita jalang itu di luar sana." Mata berkilat Harti kini berembun. Salahnya adalah terlalu mencintai Yadi hingga menggunakan cara apa pun untuk membawanya masuk ke rumahnya. Salahnya adalah memperlakukan pria itu seperti raja dengan memberinya kebebasan untuk bepergian dan uang. Pria muda seharusnya tidak perlu disenang-senangkan.

Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang