14

158 22 7
                                    

Tiga hari sebelum penculikan.

"Suga."

Melody menepuk punggung Agus yang sedang menggoreng sesuatu. Dari baunya, itu adalah tempe bumbu bawang. Dia berjalan mengendap. Kerasnya suara tempe yang diadu dengan minyak panas membuat Agus tidak menyadari kepulangannya.

"Wuih, kita makan malam pakai apa, nih?" Melody tadi ada pemotretan nikahan, jadi baru bisa pulang setelah magrib.

"Tempe sama sambal, Mbak, itu!" Sambalnya sudah jadi sejak tadi, nasinya juga sudah matang. Tempe dan sambal sudah ada sejak zamannya, jadi dia tidak kesulitan memasaknya.

"Lo masak nasi pakai panci, ya?" Ketika ingin cuci tangan, Melody melihat panci kotor berlepotan nasi. "Belum bisa pakai rice cooker?"

"Rasanya enakan pakai panci, Mbak." Ngeles aja, memakai kompor saja dia masih takut-takut. Rasanya sulit dipercaya, tinggal dicolokkan, nasi bisa matang sendiri. Ditinggal membaca, nyuci, atau bersih-bersih, beras bisa berubah jadi nasi. Efisien sekali. Simbok pasti akan terbantu kalau mereka punya benda itu. Rais, rais apalah namanya.

"Ya udah, gue mandi dulu!" Melody melempar tas ke kasur, lalu menyambar handuk.

"Buat lo!" Melody meletakkan kresek putih di meja. Dia sudah berganti baju dengan kaus dan celana rumah yang nyaman. Kepalanya masih dibebat handuk, tubuhnya menguarkan bau sabun dan sampo.

"Opo iki, Mbak?"

Bukannya menjawab, Melody malah menciduk nasi dan mengambil tempe. "Selamat makan."

Agus mengamati kresek itu, tulisannya Pop Phone. Isinya kotak kecil berwarna putih. "Apa ini, Mbak?"

"Buka aja. Hadiah dari gue karena lo diterima kerja." Melody memasukkan sesendok penuh nasi ke mulutnya. "Huah, sambel lo mantap." Dia mengibas-ngibas, kepedasan.

Agus membuka kotak itu dan mengeluarkan isinya. Benda pipih yang warnanya juga putih. Ada layar dan huruf-huruf yang sangat kecil. Alisnya mengernyit, mengira-ngira benda apa itu.

"Itu ponsel, handphone." Ponsel model sayang orangtua yang hanya bisa untuk telepon dan SMS. "Itu ponsel lo, sekarang. Nomornya gue tempel di belakang. Kalau lo mau beli pulsa, tinggal tunjukin aja itu."

Agus membalik ponsel itu. Ada deretan angka yang ditulis di kertas kecil, lalu ditempel dengan selotip. "Oh ... ponsel? Kok, beda sama punyane Mbak Mel?" Punya Melody lebar dan itu tidak ada setengahnya.

"Mbak Mel ngapusi, ini bukan ponsel." Bentuknya saja beda, dia tidak bisa dibodohi. Agus meletakkan benda itu di samping piring Melody. "Opo to kui?"

"Ponsel gue udah berevolusi, ponsel itu belum. Lo pikir model ponsel cuma kayak punya gue doang? Udah ambil, itu buat lo. Lo jadi orang pertama di kampung lo yang punya ponsel. Gimana nggak hebat?"

Agus mengambil benda itu, mengamatinya. Dia terlonjak karena tiba-tiba ponsel itu mengeluarkan deringan keras.

"Itu nomor gue." Melody me-misscall nomor Agus. "Tekan tombol hijau. Iya, itu yang hijau."

"Ini?"

"Lo ngerti hijau nggak, sih?" Melody gusar dan terpaksa menekan tombol terima sendiri. "Dengerin suara gue. Halo Suga, hallo ...."

Agus menempelkan ponsel itu di telinga dengan takut-takut, lalu bibirnya melengkungkan senyum semringah. "Suaranya Mbak Mel kedengaran."

Melody melemparkan tubuh ke sofa ketika Agus pergi ke ruang tamu. Kalau dari ruang tamu yang jaraknya lebih jauh terdengar tidak, Mbak?

Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang