13

134 22 2
                                    

Seminggu sebelum penculikan.

Namanya Alan.

Hanya Alan. Entah nama lengkapnya siapa. Dan setelah merenungkannya selama bertahun-tahun, Melody menobatkan-nya di kursi raja cinta pertamanya.

Melody bertemu dengannya di bangsal anak saat usianya sepuluh tahun. Butuh waktu dua hari bagi anak itu untuk mau membuka mulut. Dan yang keluar hanya satu kata, pendek dan nyaris tidak terdengar; Ha-lan. Alan.

Alan adalah anak laki-laki yang lebih besar dan tinggi dari Melody, tetapi cengengnya minta ampun. Hari-harinya di rumah sakit dihabiskan dengan menangis hingga matanya bengkak.

Saat Melody terbangun dari koma selama lima hari, yang pertama dia lihat bukan orang tuanya, dokter atau suster, melainkan anak laki-laki seumuran dengannya yang duduk memeluk lutut di ranjang sebelahnya. Dia menangis memanggil-manggil mamanya. Esok harinya, Melody mengeluarkan raungan yang sama ketika papa dengan hati-hati memberitahunya bahwa mama telah pulang ke tempat Allah.

Sehari kemudian, satu kabar buruk mampir ke telinganya. Mama Alan juga baru saja meninggal. Mereka senasib dan kemudian menjadi sangat akrab. Mereka menghabiskan masa perawatan di rumah sakit dengan bermain bersama, tertawa, menangis, hingga berbagi rahasia. Waktu berpisah akhirnya tiba meskipun mereka—lebih tepatnya Melody—belum ingin kehila-ngan teman baru.

Malam itu, Melody menulis sebuah surat untuk Alan. Surat undangan pertemuan kembali mereka nanti.

Alan bercerita pada Melody bahwa dia memasukkan semua uang jajannya ke celengan ayam agar terkumpul banyak dan bisa membelikan baju untuk mamanya. Baju itu terbeli, namun sayangnya, mamanya belum sempat memakainya.

Melody membuka lemarinya lebar-lebar, bau pewangi pakaian itu langsung menguar keluar. Dia mengambil sebuah kotak dari bagian bawah lemari. Kotak berwarna biru tua yang sudah dia simpan selama tiga belas tahun. Dia membawa kotak itu ke ranjang, lalu membuka tutupnya yang mulai usang.

Jari-jari Melody bergerak pelan menyusuri kain merah jambu yang ada di dalam kotak itu. Baju yang dibeli Alan untuk mamanya. Tiga belas tahun lalu, Melody mencurinya dari ransel Alan sebagai barang sitaan.

Kalau kamu ingin baju ini kembali, maka kita harus bertemu lagi.

Melody meletakkan dress model lama itu di pangkuannya. Modelnya sederhana, tetapi pasti akan membuat wanita yang memakainya terlihat anggun. Dia menempelkan baju itu di dadanya, membunuh rindu. Dipeluknya erat dress itu dengan lama. Setiap memeluk baju itu, maka dia akan merasa memeluk mama.

Alan bilang mamanya cantik, lembut, dan sangat menyayanginya. Mamanya selalu membangunkannya dengan menciumi wajahnya setiap pagi, membuatkannya sarapan, mengantarnya sekolah dan membacakannya cerita setiap akan tidur.

Hal itu juga dilakukan mama Melody setiap hari. Mamanya dan mamanya Alan sangat mirip. Mungkin itu sebabnya Tuhan memanggil mereka di hari yang sama, agar mereka berteman di surga dan anak-anak mereka yang bandel ini bisa mandiri.

Melody memandang kalender meja yang ada di dekat ponsel. Februari tahun depan, dia sudah berumur dua puluh empat. Itu artinya, dia akan bertemu lagi dengan Alan. Saat hari itu tiba, dia akan memakai baju itu. Dia ingin mengabulkan keinginan Alan melihat baju itu dipakai.

"Nggak apa-apa, ya, Al, kalau yang makai baju ini nggak secantik mama kamu." Dia membawa baju itu ke belakang untuk mencucinya. Baju itu tidak pernah dia laundry, selalu dicuci dengan tangannya sendiri.

"Ehem!" Agus berdeham ketika melihat Melody menjemur pakaian. Dia mendekat dengan kedua tangan di punggung, matanya bergerak ke sana kemari.

"Kalau lo batuk, minum obat, sana! Cari aja di laci." Melody merapikan ujung rok yang kusut karena basah.

Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang