28

63 11 0
                                    

Lo di mana? Udah sore, kok, belum pulang?

"Mbak Melody sudah datang, mari masuk!" Aliya membuka pintu sambil tersenyum ramah.

"Sore, Mbak Aliya." Melody menyelipkan ponselnya ke saku, lalu mengayunkan kaki dan masuk. Agus pergi sejak pagi dan belum pulang. Hari ini dia libur dan pamit ingin jalan-jalan. Dia sudah berpesan agar menelepon jika nyasar. Namun, jangankan menelepon, SMS-nya tidak satu pun yang dibalas.

"Hai, Levy." Melody melambaikan tangan ke Levy. "Selamat sore, Pak Adrian, Ibu." Ada kedua orang tuanya juga.

"Nah, itu Mbak Melody sudah datang. Belajar, sana!" Pak Adrian mengusap rambut putranya yang wajahnya ditekuk itu. "Besok Papa juga pulang. Kalau hari Minggu, kamu boleh ikut, kok."

"Beneran, hari Minggu aku boleh ikut?" Bibirnya mulai melengkung.

"Sabtu sore Papa jemput kamu. Ya sudah, Papa pergi sekarang."

"Ya, titip Levy, ya! Jangan nakal, nurut sama Mbak Aliya." Mama Levy mencium pipinya. "Mari, Mbak Melody!"

Melody mengangguk sopan. Aliya dan Levy pun mengantar papa-mamanya ke depan. Dia menunggu di sofa sambil menyiapkan materi hari ini.

"Asyik, aku boleh ke Singapur!" Levy bergoyang kegirangan.

"Kangen sama nenek, ya?" Melody meletakkan buku di depan anak itu. "Kira-kira, nenek kapan pulangnya?" Dia ingin makan dengan Ibu Kepala Yayasan lagi. Ingin membuatkannya makanan yang enak sebagai ucapan terima kasih.

"Nenek drop, Mbak." Tanpa sengaja, Levy mendengar papanya menerima telepon. Karena, itu mama dan papanya langsung terbang ke Singapur. "Kankernya menyebar."

Wajah Aliya berubah sayu. "Nggak apa-apa, Lev. Tadi pas kita telepon, nenek juga masih bisa ketawa."

"Ya ampun, Mbak." Melody menutup mulut. Yang dia lihat selama ini, Ibu Kepala Yayasan sehat-sehat saja, bekerja, berjalan ke sana kemari. Yang dia baca dan lihat, tidak terlalu banyak yang bisa diharapkan dari kanker yang sudah menyebar.

"Ibu, sih, kalau disuruh berobat susah sekali." Tepatnya, semenjak Kirana meninggal, ibunya juga tidak punya semangat untuk berumur panjang. "Ada telepon, saya angkat dulu."

Kata telepon mengingatkan Melody kalau dia belum mendapatkan kabar dari Agus. Dia memeriksa ponselnya, masih sama. Dia ke mana, sih?

"Iya, nanti aku ke sana. Levy lagi les, Pak Adrian baru aja ke airport."

Melody dan Levy serentak memperhatikan Aliya.

"Nggak, Ibu nggak apa-apa. Oh, gitu. Penting banget? Oke, aku usahain."

"Mbak kalau mau pergi, nggak apa-apa, Levy biar aku yang jagain." Dari raut wajah Aliya, Melody menebak telepon tadi mengabarkan hal penting.

"Siapa, Mbak?" tanya Levy.

"Om Ad—" Aliya nyengir. Tidak mungkin menyebut Adnan di depan Melody, bisa rusuh. "Cuma temen, minta ketemuan nanti sore." Adnan meminta bantuannya, Pak Hari tidak sadarkan diri dan ada sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan di kantor. Dia disuruh memilih, ke kantor atau rumah sakit.

"Kalau penting banget pergi aja, nggak apa-apa."

"Paling pengen ngobrol aj—" Aliya belum selesai bicara ketika ponselnya ribut. Tertulis Adnan. Dia langsung mematikannya.

"Om Adnan nelepon ke HP aku, nih, Mbak." Levy mengeluarkan ponsel dari saku.

Manusia bernama Adnan itu, bisa dideportasi saja ke Andromeda, tidak? Melody memandang Aliya dan Levy bergantian, langsung ingat siapa itu Adnan.

Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang