20

177 20 3
                                    

"Bagus, nggak?"

Melody memandang benda baru di rumahnya, sebuah bingkai foto di rak dekat meja makan. Karena tinggal sendiri, dia tidak memiliki foto keluarga untuk dipajang. Ada fotonya saat kecil dan mamanya di kamar, tetapi tidak menyimpan foto papa.

"Bagus, Mbak." Foto Agus dan Melody di rumah Pak Cholidi. Berdua saja dengan latar pelaminan, memakai batik dan tersenyum manis ke kamera. Sebetulnya, ada Selena nyempil, tapi tentu saja tidak kelihatan.

"Ya udah, ayo berangkat!" Melody mencangklong tasnya.

"Jadi makan gudek?" Agus kegirangan.

"Nggak usah cerewet! Ambil helm, sana!"

Karena tempo hari mereka batal makan bakso, Melody akan menggantinya dengan makan gudek. Kata Selena, Agus pasti homesick. Dan untuk mengobati kesedihannya saat di rumah Pak Cholidi waktu itu, Selena menyarankan makan gudek saja. Ada satu tempat yang enak banget.

**

Gudek Pak Slamet.

Agus melepas helm, lalu memandang restoran kecil yang tampak ramai itu. Bahkan ada beberapa mobil yang tampak mewah parkir di pinggir jalan.

"Gimana, Suga, lo pasti kangen makan gudek, 'kan?" goda Melody. "Di sini gudeknya asli enak banget. Selena suka banget makan gudek dari sini. Gue, sih, nggak terlalu suka gudek."

"Katanya gudek ini asli Jogja, udah ada selama puluhan tahun."

Raut Agus berubah pucat. Dia menatap tulisan di spanduk tanpa berkedip. Gudek Pak Slamet. Slamet adalah nama paling umum di Jawa. Slamet penjual gudek juga sangat banyak. Tapi, gudek Slamet yang paling enak adalah yang di dekat pasar. Sudah berjualan sejak 1969. Mungkinkah Slamet yang sama dengan tempatnya sering makan dulu?

"Kok, malah diem?"

"Tunggu, Mbak, kenapa saya nggak asing, ya?"

"Lo, kan, baru pertama kali makan di sini. Gimana, sih?" Melody melangkah lebih dulu, namun tiba-tiba berbalik sambil menutup mulut. Dia mendekati Agus, menatapnya tanpa bicara. Agus dengan mudah memahami bahasa mata itu.

"Mari, silakan dinikmati!" seru seorang laki-laki berambut putih yang bersalaman dengan beberapa pelanggannya.

"Sehat, Pak Slamet?"

"Alhamdulillah, sehat-sehate wong tuo ngeneki (Alhamdu-lillah, sehat-sehatnya orang tua, ya, begini)."

Melody menunjuk pria itu, Agus mengangguk-angguk. Ketika mereka sudah duduk, Agus masih belum pulih dari rasa keterkejutannya. Melody menyenggolnya agar tenang. Yang dicari-cari tidak kunjung ketemu, yang tidak diingat malah muncul begitu saja.

"Mas, pesan!" Melody memanggil karyawan yang berbaju hitam. "Lo mau apa, Suga?"

Agus terus saja menatap Pak Slamet. Benar, itu Pak Slamet yang dia kenal di tahun 73. Wajahnya masih sama, hanya rambutnya berubah warna dan pipinya yang cekung. Empat puluh tiga tahun telah membuat pria itu tampak ringkih. Bagaimana jika pria itu bisa mengenalinya?

"Mas, saya gudeknya nggak usah pakai telur, ya. Minumnya es jeruk aja. Lo, Suga?"

"Sama kayak Mbak Mel," jawab Agus terbata.

"Minumnya?"

"Teh poci gula batu," kata Agus spontan. Teh poci gula batu racikan Pak Slamet adalah yang nomor satu.

Karyawan itu tampak bingung, Melody memelototi Agus. "Di sini nggak jual kayak begituan."

"Oh iya, ditunggu, ya!" Karyawan itu pergi.

Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang