21

128 17 3
                                    

"Ibu, kemari!"

Kirana kecil melambaikan tangan pada ibunya. Dia berlari-lari di padang bunga yang luas itu. Karena terlalu senang bermain, dia tidak memperhatikan apa yang ada di depannya. Ujung sepatunya terantuk batu dan dia terjerembap mencium tanah.

"Kirana!" Ibunya mendekat dengan terburu-buru. "Ibu bilang apa tadi? Nggak boleh lari-lari."

"Maaf, Ibu," kata Kirana lirih dengan air yang sudah menggantung di pelupuk mata. Dia berusaha berdiri, namun ternyata lututnya luka.

"Ibu, aku mau digendong saja. Ayah di mana, Bu? Aku mau digendong ayah saja." Kirana menoleh ke sana kemari, menelusur ke seluruh padang itu, tetapi tidak terlihat sosok selain mereka.

"Ayah, ayah di mana?" panggil Kirana. "Ayo cari ayah, Bu."

"Ayah, ayah ...." Ibunya ikut memanggil. "Ayah, ayah di mana?" Dia menuntun Kirana melangkah membelah luasnya rumput padang itu. Sepi, hanya ada mereka berdua.

"Ayah ...."

"Ayah ...."

"Kami di sini." Sebuah sahutan terdengar dari kejauhan. Siluet tiga orang berjalan ke arah mereka. "Kami di sini Kirana, Ibu."

"Mbak Nana."

"Mbak Nyanya."

Ayahnya, Sofyan, muncul sambil menggandeng Adrian dan Ario. Begitu sampai di depannya, ayahnya berjongkok dan mengusap lembut puncak kepalanya. "Kirana cantik, kenapa? Kok, nangis?"

Kirana menghambur dan memeluk ayahnya. "Ayah jangan tinggalin Kirana sama ibu, ya?"

"Tentu saja. Ayah, kan, ayahnya Kirana. Ayah nggak akan ke mana-mana, kok."

"Gendong, Ayah," kata Kirana manja.

Ayahnya tertawa. "Kirana sudah besar, berat. Adrian sama Ario nanti minta gendong juga."

"Alio nggak dendong, udah becal." Mereka semua tertawa mendengar celoteh cadel Ario. Kirana akhirnya naik ke punggung ayahnya, berganti peran dengan ibunya yang kini menggandeng Adrian dan Ario. Ario terus bercerita, mereka berjalan beriringan dengan tawa.

"Ibu, Ibu kenapa? Ibu mimpi?" Adrian menyentuh lembut lengan ibunya. Dia baru saja masuk ke ruang rawat dan mendapati wajah dan leher ibunya berkeringat. "Ibu! Bu!"

Ibu Kepala Yayasan membuka mata. Dia meraih uluran tangan Adrian untuk duduk di atas tempat tidur. Mimpi lagi.

"Aku akan panggilkan dokter."

"Nggak usah, ibu nggak apa-apa."

"Ibu mimpi Mbak Kirana lagi?" Adrian berharap jawabannya bukan, namun ibunya mengangguk. "Ya sudah, Ibu istirahat lagi. Aku akan bicara dengan Dokter Huang."

"Kamu, kok, sudah di sini?" Ibunya keheranan. Adrian pulang ke Jakarta pagi tadi. "Jam berapa ini?"

"Dari sini ke Jakarta itu dekat, Bu. Ya, 'kan?" Adrian merapikan selimut ibunya. "Aku cuma dua jam di Jakarta. Ario sudah di Changi, sebentar lagi sampai sini."

"Kamu suruh Ario ke sini?" Raut ibunya berubah kaget. "Kamu pikir Beijing itu dekat? Nggak kasihan sama adikmu?"

Adrian tersenyum lega. Kalau ibunya mengomel, itu tandanya dia sehat.

"Pokoknya Ibu di sini untuk istirahat, nggak usah pikirkan yang lain. Ingat, sakit Ibu bisa makin parah." Adrian berkata lirih. Ibunya sudah lama mengidap kanker hati, namun selama ini hanya berobat jalan dan rutin check up. Ibu tidak pernah mau kemoterapi.

Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang