Agus sedang berbaring di tempat tidur—kayu bekas yang dia susun melintang sebagai ranjang dan dialasi kardus di atasnya—ketika terdengar panggilan dari luar. Boro-boro ada sarung untuk selimutan dan bantal.
"Olaf, Laf, kamu udah tidur? Olaff ...." Melody berdecak, gelap gulita. Apa lampunya mati lagi? Lampu gudang itu baru dia ganti sekitar seminggu lalu. Dia datang untuk mengantarkan makanan dan bantal.
Agus meraba-raba lantai, mencari sandalnya. Melody tidak memberinya senthir—lampu tradisional yang bahan bakarnya minyak tanah—atau apa. Di situ dibiarkan gelap, sedangkan rumahnya terang benderang. Penerangan di gudang itu hanya dari jendela yang tidak dia tutup. Setelah menemukan sandal, dia meraba dinding untuk berjalan sampai ke pintu.
"Laf, lampunya mati atau kenapa? Kok, gelap?" Melody menggedor pintu. "Nih, ada makanan, makan dulu." Dia menerjang masuk begitu pintu terbuka dan berjalan ke tempat sakelar dan blamm, terang benderang.
"Kenapa nggak dihidupin dari tadi?" dengusnya kesal.
Agus menoleh ke segala arah, semua terlihat jelas sekarang. Mana dia tahu ada tombol untuk menghidupkan lampu, di kampungnya belum ada listrik. Penerangannya masih pakai senthir atau sinar bulan.
"Makan! Itu bantal juga dipakai."
Agus mengangguk, lalu membawa mangkuknya ke atas tempat tidurnya. Isi mangkuk itu masih mengepul, makanan berkuah bening yang baunya sangat enak. Ada sawi dan telurnya juga. Di kampungnya, harga telur mahal, kecuali jika memiliki ayam sendiri. Jarang sekali dia makan telur.
"Itu, kan, cuma mi instan. Ngapain dilihatin kayak gitu?"
Melihat mi instan seperti melihat harta karun saja.
Agus menyendok kuahnya sedikit dan rasanya sangat enak. Dia belum pernah makan makanan yang seenak itu sebelumnya. Mulanya dia makan pelan-pelan, namun akhirnya menjadi makan dengan rakus. Makanan itu empuk, gurih, dan bercitarasa.
Apa orang ini benar-benar dari tahun 1973? "Em, kamu udah bisa ingat sesuatu?"
Agus mengangkat kepala, minya masih menggantung di mulut.
"Gini, loh, Olaf." Melody ikut duduk di atas tempat tidur. "Kalau aku tahu siapa kamu, aku jadi gampang kalau mau ngapa-ngapain. Maaf, tapi karena aku belum tahu siapa kamu, aku baru bisa kasih kamu makan dua kali sehari, pagi sama malam." Itu sudah dia diskusikan dengan Selena, untuk jaga-jaga.
"Tapi kalau kamu mau ngomong, aku jamin, kamu bisa makan tiga kali sehari, plus camilan sama kopi. Gimana? Ayolah, bicara!"
Agus menjauh, belum siap bicara juga tak yakin gadis di depannya itu orang baik atau jahat. Biar bagaimanapun, dia baru saja dikejar dan terdampar di antah berantah. Bisa saja setelah tahu siapa dirinya, Melody melapor ke polisi.
"Di sini cuma ada aku sama Selena. Aku nggak akan bahayain kamu, aku janji," kata Melody yakin. "Ya udah, jawab pertanyaanku ini aja. Kamu beneran dari tahun 1973? Kamu hidup di tahun 1973, lalu kamu bingung karena sekarang udah 2016, 'kan? Kamu bingung karena udah empat puluh tiga tahun, tapi kamu nggak tua, 'kan?"
Melody terus mendesak maju. Agus mundur hingga membentur dinding. Dari perilakunya, Melody semakin yakin pria di depannya berasal dari masa lalu. Dia telah melakukan perjalanan waktu, melompat puluhan tahun. Dia menatap tajam Agus, bermaksud mengintimidasi, namun tidak mendapat hasil.
"Oke, fine. Selama kamu belum mau bicara, aku malah bisa lebih mengirit." Melody berdiri dan menepukkan tangannya di celana, membersihkan debu. "Di sana ada keran. Kalau sudah selesai, cuci piringnya. Aku balik dulu. Bye!" Sebelum keluar, dia sempat memperhatikan bagaimana Agus menyulap gudang itu. Memang tidak layak, tapi tidak ada pilihan lain.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)
Misterio / Suspenso((TELAH TERBIT)) Agus Supriyatno hidup di tahun 1973 dan dituduh menjadi pelaku pemerkosaan dan pembunuhan. Agus nyaris mati, namun sebelum menutup mata dia sempat meminta pada Tuhan agar dilindungi. Tuhan mengabulkan doanya, Agus membuka mata di ta...