18

145 18 3
                                    

"Oh, jadi orang tadi rekan bisnisnya Keluarga Altair?"

"Iya, Mbak, namanya Adnan. Kemarin kita ada perjanjian bisnis yang tidak bisa disepakati, jadi salah paham." Aliya menjelaskan setelah meneguk jus jeruk yang disajikan Melody. "Tapi, Mbak Melody nggak apa-apa, 'kan? Kalau misalnya perlu ke rumah sakit, biar saya antar."

Melody menggeleng sambil tersenyum. "Cuma luka lecet, dikasih obat merah juga sembuh. Bentar, Mbak, saya tinggal ke belakang dulu."

Melody bergegas ke dapur karena melihat kepala Agus beberapa kali menyembul dari balik pintu. Agus menangkap kodenya dengan baik agar sembunyi saja.

"Siapa itu, Mbak?"

Melody menarik Agus ke samping kulkas dan menempelkan telunjuknya di bibir. "Lo sembunyi di sini dulu, itu temen gue."

Mulai sekarang, dia harus lebih hati-hati. Aliya sepertinya bukan sekadar pengasuhnya Levy, dia orang kepercayaannya Ibu Kepala Yayasan. Mana mungkin pengasuh anak disuruh menyelesaikan masalah salah paham bisnis. Melody tidak percaya yang dikatakan Aliya. Dia sudah makan asam garam kerasnya hidup, jadi tidak mudah dibohongi. Tidak mungkin jika hanya salah paham bisnis. Penculik itu jelas-jelas menyebut Kirana. Kirana itu sudah lama sekali meninggal. Jika ada kesalahpahaman bisnis, itu tentu terjadi sebelum Kirana meninggal. Kalaupun memang ada masalah bisnis, harusnya sudah diselesaikan sejak lama. Dan Aliya jelas-jelas mengatakan kemarin. Impossible.

"Tadi, orang yang nyulik kita datang buat minta maaf."

"Hap ...." Sebelum Agus selesai, Melody sudah membungkam mulutnya.

"Kayaknya ada masalah antara Altair sama orang yang nyulik kita. Mereka rebutan disket milik si Kirana itu," bisik Melody. "Nanti gue cari tahu. Pokoknya kalau ada yang datang, lo jangan keluar-keluar, ya! Lo balik ke paviliun lo aja, sana. Gue ke depan dulu, takutnya nanti dia curiga." Biar elite sedikit, paviliun.

"Iya, iya, Mbak, oke."

Melody pun kembali untuk berbicara lagi dengan Aliya. "Titipan dari ibu, Mbak." Aliya mendorong paper bag yang dibawanya. "Kalau ada yang gangguin Mbak Melody lagi, telepon saya aja. Nanti saya kirim orang buat jagain."

"Saya udah lapor polisi, kok, Mbak." Ya, meskipun sampai sekarang entah kenapa belum ada tindak lanjut yang nyata. Polisi hanya bilang prosesnya memang lama. "Nggak enak, ah, kalau ngerepotin Mbak Aliya."

"Nggak apa-apa. Mbak itu karyawannya Altair, keamanan semua karyawan memang tanggung jawab yayasan."

Melody hanya mengangguk, semakin yakin bahwa Aliya menyembunyikan sesuatu.

"Apaan nih, Mbak?" Melody mengintip isi paper bag itu. "Jadi ngerepotin." Sepertinya makanan. Baunya harum sekali.

"Nggak, Mbak. Ibu itu udah biasa begini kalau ada sesuatu sama pegawainya."

"Ibu sudah pulang?" Melody berusaha mengorek informasi. "Tolong sampaikan terima kasih saya sama ibu."

"Belum, ibu cuma telepon."

"Emang ibu sakit apa, sih, Mbak?" Melody meneguk jusnya. "Kok, waktu itu sampai pingsan? Emangnya parah, ya?"

"Cuma kelelahan aja, kerja terus. Ibu memang beberapa bulan sekali ke Singapura buat general check up."

"Ooh ...." Mulut Melody membulat. "Anaknya yang di Sidney itu jarang pulang, ya? Kok, saya cuma lihat Pak Adrian?"

"Oh, Pak Surya kalau pulang biasanya pas lebaran sama tahun baru. Udah sore banget, nih, Mbak, saya pamit dulu." Aliya memperhatikan jam tangannya, lalu berdiri. Melody mengantarnya keluar. Dia bersedekap di teras, memperhatikan mobil Aliya yang perlahan mengecil.

Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang