"Bapak!"
Melody memekik ketika melihat Hariyadi Purnomo hampir jatuh. Dia tadi melihatnya berjalan berpegangan pada dinding, tubuhnya terlihat sangat lemah.
"Bapak tidak apa-apa?" Dibantunya pria itu untuk berdiri.
"Oh, kamu?" Hariyadi mengerjap, pandangannya buram tanpa kacamata. "Melody."
"Iya, Pak, saya kebetulan ada di sini." Dia berinisiatif mengambilkan tab Hariyadi yang terjatuh, namun tangan pria itu lebih gesit.
"Maaf, jadi merepotkan kamu." Dia mendekap tab-nya yang tadi terjatuh—untungnya—dalam posisi terbalik. Apa yang dilihatnya dalam tab itu tadi yang membuatnya lemas seperti sekarang.
"Mari, Pak, saya bantu ke kamar. Kamarnya di mana?" Melody memegangi tangan Hariyadi, menuntunnya. Hariyadi bilang tidak usah, namun Melody bersikeras.
"Bapak sendirian?" tanya Melody ketika mereka sampai di kamar VIP. "Tidak ada yang menemani?"
"Ada asisten saya, tapi dia masih di kantor. Anak saya di Amerika. Kamu jangan panggil saya Bapak, panggil saja saya Kakek."
Melody mengangguk. "Iya, Pak, eh, Kakek."
"Kamu seusia cucu saya." Hariyadi terkekeh. "Kamu sudah punya pacar? Mau saya kenalkan sama dia?"
Gantian, Melody yang tertawa kecil. "Oh ya? Cucu Kakek pasti ganteng kayak Kakek."
Melody rasa Agus benar, Hariyadi itu orang baik. Selena saja yang terlalu curiga. Sejak pertama kali mengobrol dengannya, Melody juga menemukan kesan itu padanya. Buktinya, dia mau memulai obrolan dengan orang kasta bawah sepertinya. Saat melihatnya di lorong tadi, Melody malah merasa kasihan. Dia adalah kakek tua yang mungkin tinggal menunggu saatnya kembali ke Tuhan, kesepian dan sendirian. Bergelimang harta tidak menjamin seseorang bahagia di hari tuanya.
"Dia ganteng seperti artis Korea." Dari data Melody yang diberikan Adnan tadi, disebutkan gadis itu adalah fans Korea garis keras.
"Mirip siapa, Pak? Yang Se Jong? Atau Yoo Hyun Min?" tanya Melody antusias.
"Nanti saya kenalkan kalau dia sudah pulang dari Australia. Oh, kamu mau buah? Biar saya kupaskan."
"Sini, saya aja yang kupas buat Kakek." Melody lebih dulu meraih pisau. Lama-lama, dia jadi lupa tujuannya mendekati Hariyadi—karena mengobrol dengan kakek ini ternyata menyenangkan.
"Saya senang ada teman mengobrol begini, Melody." Hariyadi menggigit potongan apel. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Gadis itu datang sendiri saat dia sedang berusaha akrab dengannya.
Melody juga membatin dalam hati, pucuk dicinta, ulam pun tiba. "Saya juga jadi nggak kangen lagi sama kakek saya, Kek. Kakek saya di Gorontalo. Kalau Ba, eh, Kakek aslinya dari Jogja, ya? Saya juga punya teman dari Jogja, ngomongnya medok gitu." Melody memasukkan sebutir anggur ke mulutnya. "Dia itu kalau manggil saya gini, Mbak Melll ...." Dia menirukan cara Agus bicara. "Mbak Mel, ampun polah nggih. Lungguh sing anteng, mengko mundak ilang ayune." Melody tertawa terbahak-bahak. "Saya juga nggak tahu itu artinya apa, Kek."
Hariyadi tertegun sejenak. Kinanti, ampun polah nggih. Lungguh sing anteng, mengko mundak ilang ayune (Kinanti jangan pecilan, duduk yang baik, nanti hilang cantiknya)."
"Kenapa, Kek?"
"Teman saya juga ada yang sering bicara seperti itu." Hariyadi menepuk pelan lengan Melody. "Kamu tidak pulang? Ini sudah malam, nanti dicari orang tua kamu." Baru lewat jam delapan dan dia tahu Melody tinggal sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)
Mystery / Thriller((TELAH TERBIT)) Agus Supriyatno hidup di tahun 1973 dan dituduh menjadi pelaku pemerkosaan dan pembunuhan. Agus nyaris mati, namun sebelum menutup mata dia sempat meminta pada Tuhan agar dilindungi. Tuhan mengabulkan doanya, Agus membuka mata di ta...