23

136 19 2
                                    

"Kayaknya, lo harus samperin langsung si Pak Hariyadi Purnomo itu, Mel."

Melody menghentikan motor di antrean palang kereta. "Gimana caranya? Masa gue muncul tiba-tiba di depan rumahnya?" Tidak banyak yang bisa dia simpulkan dari bukti foto yang dibawa Selena pulang. Antara tidak ada yang mencurigakan atau otaknya tidak jeli.

"Nyamar, kek, jadi apa."

"Lo aja nyamar jadi manusia, bisa? Atau lo rasukin dia, gitu." Melody menghela napas karena keretanya tidak kunjung lewat. Dia bisa telat sampai Altair.

"Ojeknya Suga mana, ya? Kenapa nggak kelihatan?" Selena menoleh ke segala arah.

"Di belakang, kali. Udah, lo turun aja!"

Selena ikut motor Melody, katanya mau ada urusan di kafe dekat Altair. Memangnya apa yang diurusi hantu? Pemerintahan?

"Urusan ini lebih ribet daripada hidup manusia. Gue ikut motor lo, ya. Please, Mel." Selena memohon.

"Gue udah sama Suga. Lo ngilang aja."

"Suga bisa naik angkot, 'kan? Oke, Suga? Hari ini lo naik angkot, ya?"

"Kalau Suga naik angkot, dia mesti bayar. Lo aja yang naik angkot, gak bayar."

Melihat Melody berdebat alot dengan udara, akhirnya Agus mengeluarkan pernyataan bahwa dia akan naik ojek saja. Ojek online, Melody yang bayar. Sungguh sebuah keputusan yang bijaksana, bukan?

Sementara itu, tak jauh dari sepeda motor Melody, sebuah mobil juga berada di barisan kemacetan.

"Kenapa, Nan?" Hariyadi Purnomo yang duduk di bangku belakang pun heran melihat Adnan menaikkan kaca depan, lalu memakai kacamata hitam.

"Tutup jendelanya, Pak, nunduk!" Adnan menunduk dalam-dalam sambil menunjuk ke luar. Hariyadi justru menurunkan kaca jendela agar lebih leluasa melihat apa yang terjadi di luar.

"Motornya Melody, Pak." Tepat di samping mobil mereka, motor Melody ikut antre palang kereta. Aliya tidak pernah main-main dengan ancamannya. Bertarung, ya bertarung. Banting, ya dia benar-benar akan dibanting. Untung mereka ganti mobil.

Hariyadi menutup jendela dan ikut menunduk. Saat keretanya lewat, dia sadar yang dikenal Melody itu Adnan. Kalau Melody mau balas dendam atas penculikan itu, ya, ke Adnan. Melody tidak mengenalnya, buat apa dia ikut sembunyi?

"Kamu itu ngagetin aja, Nan," kata Hariyadi setelah mobil mereka membelah lautan palang kereta sambil merapikan pakaiannya.

"Pak, Mbak Melody benar-benar anak indigo, deh, kayaknya."

Bulu kuduk Adnan seketika meremang. "Tadi kelihatannya Mbak Melody bicara sendiri." Dia sempat melihat sekilas bibir Melody bergerak walaupun tidak mendengar suaranya.

Hariyadi menjulurkan leher, mencari motor Melody, namun sudah tidak terlihat lagi.

"Mungkin dia bicara sama hantu."

"Bapak ini malah nakut-nakutin."

"Nan, kiri, kita langsung ke Altair saja." Hariyadi berubah pikiran. Mereka seharusnya ke kantor pengacara dulu, baru ke Altair. Melihat Melody tadi, keputusannya pun berubah.

"Pak Handika ke KL jam dua belas, nggak akan sempat ketemu kalau kita ke Altair dulu." Adnan memperhatikan arlojinya. Buat janji dengan pengacara Handika Setyawan itu sulitnya bukan main.

"Ketemu Handika besok saja. Belok kiri, ke Altair!" Hariyadi ngotot. "Cepat telepon Handika! Bilang sama dia kalau aku tidak jadi datang. Kalau mau ke KL, pergi saja!"

Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang