Iced Chocolate (1)

1.3K 144 0
                                    


Koridor hotel yang bernuansa cokelat muda itu mulai ramai. Beberapa penghuni hotel yang keluar dengan busana untuk berolahraga. Sementara beberapa yang lain memakai setelan kerja. Karyawan juga seringkali lewat untuk mengantarkan sarapan. Mereka mengetuk pintu-pintu kayu berwarna hitam itu dengan sabar. Melihat kesibukan ini, Angel hanya bisa mendesah pelan. Dia menghabiskan waktu dengan menengok pemandangan kota yang terlihat dari jendela.

Bibirnya mengatup rapat, dia memang dia saja tetapi benaknya selalu penuh dengan gagasan demi gagasan yang berkejaran. Meski dia sangat berusaha untuk menghapus semua khayalan dari dalam kepala, sekali lagi dia gagal. Salah satunya adalah kenangan kemarin pagi bersama Mr. Evans masih melekat di pikiran layaknya lem super. Kejadian itu bukan peristiwa yang istimewa dan pria itu mungkin sudah melupakannya. Hanya saja, entah mengapa dia sulit sekali melepaskannya dari ingatan.

Angel menarik napas pelan. Tangannya terangkat beberapa kali lalu terkulai. Pintu di depannya masih tertutup rapat. Kali ini matanya memelotot, menatap bel yang lebih mirip tombol pemicu bom daripada sarana untuk membuka pintu. Entah dia takut bertemu Mr. Evans karena kejadian kemarin pagi atau tidak siap bertemu wanita lain lagi hari ini. Masalahnya, dia tidak bisa berlama-lama di sini. Dia harus segera bertemu pria itu sebelum staf hotel menyeretnya keluar atau membolos setengah hari karena menghabiskan banyak waktu di tempat ini. Angel mengembuskan napas, jemari kanannya meremas gagang paper bag dengan keras. Kali ini dia benar-benar menyentuh permukaan bel. Dia bergerak mundur sembari menunggu pintu terbuka.

"Siapa di sana?"

Angel terkesiap menoleh ke arah datangnya suara karena bukan berasal dari dalam ruangan. Suara sapaan itu berasal dari dekatnya. Benar saja, dia menemukan Mr. Evans berdiri di belakangnya saat menoleh. Pria bermata biru itu kini menatapnya dengan kening berkerut.

"Jangan pura-pura tidak tahu."

Mr. Evans menggaruk kepala yang sepertinya juga tidak gatal. "Yah, padahal kupikir kamu bakalan gugup."

"Biar apa?" tanya Angel ketus.

"Ya, biar aku bisa merayumu, Angel. Memangnya apalagi?" Bibirnya melekuk membentuk tawa.

Selama pria itu tertawa, Angel memperhatikan bulu-bulu tipis di dagunya yang bersih. Ada luka melintang yang belum kering sepenuhnya. Luka yang didapat setelah bercukur. Sepagi ini? Pria itu seolah menunggu seseorang yang penting. Seseorang itu jelas bukan dirinya.

Angel berdeham pelan. "Anda salah sasaran."

"Karena kamu bukan orang yang mudah dirayu." Alis kirinya terangkat sedikit.

"Mungkin."

"Menarik."

"Apanya?"

"Karena kamu tidak mudah dirayu jadi aku memang tidak salah saat menjadikanmu sasaran," sahut Mr. Evans sambil terkekeh pelan.

Mulai lagi, kelakuan aneh dan rayuan murahan itu. Angel tidak bisa mengatakan apa pun selain menggerutu dalam hati.

"Jadi, apa yang kamu bawakan untukku hari ini?"

"Hanya pesanan."

"Tanpa hal menarik di baliknya?"

Angel mendengkus lalu menarik napas pelan. Harus menghabiskan banyak waktu di sini sementara pekerjaan di kedai masih menunggu itu bukan salah satu listnya hari ini. Dia ingin menyelesaikan semuanya secepatnya lalu kembali ke Kiandra. Untuk itu, dia harus menyusun alasan dengan baik dan benar. Angel menarik napas dan menatap pria itu tanpa berkedip.

"Mungkin lain kali, sekarang saya hanya mengantarkan pesanan," sahut Angel akhirnya.

"Kalau begitu, bagaimana kalau sarapan pagi bersama?"

Better Than Almost AnythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang