Lima menit, ah tidak, mungkin sepuluh menit berlalu. Sepeninggal Angel, Elliot masih berdiri di tempatnya semula. Menatap kegelapan yang mulai merambat di luar hotel. Kebingungan memenuhi pikirannya. Khawatir jika terjadi sesuatu terhadap Angel. Dia ingin mengejar, tetapi seorang gadis yang marah akan lebih baik dibiarkan sendiri untuk sementara.
Mungkin dia sok tahu, tapi Angel sepertinya termasuk tipe yang lebih baik dibiarkan sendirian jika sedang marah. Itu yang dilihatnya selama ini. Namun, dia tidak bisa menepis perasaan khawatir yang terus-menerus muncul. Kalau soal gadis itu, hal sekecil apa pun selalu bisa membuatnya gusar.
"Apalagi yang salah sekarang?" bisiknya. "Aku salah apa sih, Angel?"
Elliot kembali menatap pintu depan hotel. Angel telah menghilang ditelan kegelapan sejak sekitar lima belas menit lalu. Menyisakan satu pertanyaan besar di kepala, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Angel tiba-tiba bersikap seperti itu?
Elliot menarik napas berat. Matanya menatap sedih ketiga kue yang ditolak oleh pemiliknya. "Mimpi manis itu sekarang berubah menjadi asam, Angel."
"Seperti mimpiku malam ini yang mungkin akan lebih buruk dari sebelumnya."
Elliot berbalik pergi, melangkah masuk kembali memasuki lobi lalu naik ke lift dengan wajah murung. Hatinya yang semula berbunga kini layu tanpa sebab yang dia ketahui. Wanita mungkin memang sulit dimengerti. Dia menunggu hingga pintu lift terbuka dan melangkahkan kakinya keluar. Dia berjalan gontai ke dalam kamarnya setelah menggesekkan kartu di pintu. Elliot menarik ponsel dari saku mantelnya. Jika kue itu yang membuatnya Angel marah tanpa sebab maka setidaknya dia perlu bertanya pada pengirimnya.
Jarinya menekan keypad ponselnya, mencoba untuk menghubungi Becca. Saat panggilan telepon itu ditanggapi seorang wanita yang dengan baik hati mengabarkan kalau ponsel yang dituju tidak aktif. Elliot kemudian membanting benda itu hingga ke ujung sofa. Giginya gemeletuk dan jemarinya meremas kepala. Pikirannya berkabut dan bingung. Apa yang sebenarnya salah dari Orange dream itu?
Elliot melirik ke arah ponselnya. Becca belum menghubunginya kembali setelah dia mengirim pesan beberapa saat lalu. Dia membanting tubuh dengan lesu di atas sofa. Kotak kue itu masih bertengger di atas meja. Kepalanya bersandar di punggung sofa. Dia menaruh lengannya menutupi mata. Pikirannya menerawang, menganalisis semua hal hari ini. Betapa semua berjalan baik hari ini hingga kue itu merusak semua.
Apa yang salah dengan kue jeruk? Sejak kapan kue menjadi masalah? Cokelat, mungkin. Namun, kue jeruk. Rasanya ini aneh dan mengada-ada. Angel tidak mungkin sesensitif itu. Lagi pula, mana ada seorang gadis yang akan marah pada seluruh kue di dunia? Kalau ada pasti melelahkan untuk memusuhi makanan. Tetapi, tidak ada yang bisa diduga dari sekian banyak keanehan sifat wanita. Perempuan memiliki kerumitan yang membingungkan.
Sialnya, Angel berada di puncak teratas dalam kategori wanita aneh. Meskipun, anomali itu membuat gadis itu menarik. Hanya saja, tabiatnya tetap membuat Elliot kelabakan.
Elliot bangun dari posisinya dan memandangi kotak kue yang diberikan Becca tadi. Angel marah setelah membaca memo itu, padahal dia sama sekali tidak tahu hal apa yang ditulis di sana. Dia lalu membuka kotak. Untung saja, memo itu masih ada di sana. Dia membaca tulisan yang tertera di kertas itu perlahan-lahan.
"Impian itu seperti buah jeruk kadang manis kadang asam. Manis jika seseorang bisa meraihnya dan asam saat mimpi itu lepas dari genggaman. Untukmu yang masih ragu untuk meraih mimpi terindah yang akan segera datang."
Elliot mengerutkan kening, benar-bebar berpikir keras. Ujung jarinya meraba permukaan kertas, mungkin ada kode tersembunyi. Namun, nihil. Tulisan di atas permukaan kertas itu tetap saja sama. Tidak ada yang aneh dan disembunyikan hingga membuat Angel bisa sampai semarah itu. Lalu, apa yang salah dengan semua kata-kata ini? Bukankah ini hanya sejenis kalimat motivasi? Kenapa Angel harus marah? Becca tidak sedang merusak filosofi sebuah masakan, kan?
Elliot meremas rambut pirangnya dengan gemas. Kepalanya rasanya akan meletup sekarang juga. Mau dipikirkan seperti apa pun, semua ini tetap aneh, tidak masuk akal dan terlalu ganjil. Masalahnya, Angel tidak mungkin akan marah kalau tidak ada alasan di baliknya. Bukan karena dirinya terlalu mengenal gadis itu, tetapi perubahan emosinya terlalu drastis mengingat sebelum menerima memo itu Angel masih bersikap biasa saja.
Becca. Hanya dia yang tahu jawaban atas semua ini. Wanita itu yang menulis memo serta menaruhnya di dalam kotak kue. Elliot meraih ponsel yang terselip di dekat punggung sofa. Dia mencoba menghubungi kembali nomor ponsel sahabatnya itu. Masih sabar menunggu hingga bunyi panggilan itu berakhir. Beberapa menit kemudian, panggilan berakhir. Dia kembali memutar nomor Becca dan menatap ponselnya seakan benda itu akan melompat pergi kalau dia berpaling. Elliot menghela napas, akhirnya ada bunyi lain selain notifikasi tidak aktif dari seberang sambungan. Dia buru-buru menaruh ponselnya di telinga.
"Halo, El!" Terdengar sahutan dari seberang
"Kamu di mana sekarang?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Aku ada di apartemen. Ada apa?" Becca juga terdengar sama bingungnya.
"Ada yang ingin kutanyakan. Aku ke sana sekarang."
"Oke."
"Oke. Jangan ke mana-mana!"
"Iya, aku paham, El. Hati-hati di jalan!"
"Oke."
Elliot menutup teleponnya. Tanpa menunggu waktu lebih lagi, dia mengambil kunci mobil dan memasukkan ponselnya ke dalam saku.
Kakinya melangkah dengan tergesa-gesa. Jari-jarinya meremas gagang pintu dan membukanya. Ia melangkah keluar tepat saat udara dingin menampar. Namun, ia sama sekali tidak peduli. Ia menginginkan jawaban sekarang. Dia harus tahu alasan Angel marah kepadanya dan ingin mendapatkan penjelasan dari Becca secepat mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Than Almost Anything
أدب نسائيBagaimana kalau mimpi buruk yang selama ini kamu alami bukan hanya sekadar mimpi? Elliot, pemilik hotel terbesar di kota selalu dihantui mimpi buruk. Pada satu malam, seorang anak perempuan misterius memberikannya fortune cookies dengan secarik pesa...