Black Forest (1)

577 89 2
                                    


Angel memandangi kendaraan yang berlalu lalang di jalanan. Menarik napas pelan saat lagi-lagi melirik ponselnya. Tidak ada pesan datang. Tidak ada satu pun. Dia menunggu sejak pagi, berharap pria itu akan datang. Elliot yang akan membuka pintu Kiandra dengan senyuman. Namun, dia juga tidak datang. Martha bilang juga tidak ada pesanan kue atau cokelat untuk Elliot hari ini. Habislah sudah harapannya. Jemarinya memainkan ponsel. Mengetikkan satu dua patah kata, menghapusnya lagi. Gadis itu mendesah. Dirinya memang terlalu pengecut.

"Katamu kebetulan menjalin takdir, kita bahkan tidak kebetulan bertemu saat aku ingin saling bersilang," gumamnya lirih.

Angel mengaduk teh di dalam gelas selama lima belas menit terakhir. Elliot menghilang sejak pertemuan mereka di danau kemarin pagi. Pria itu tidak tampak di mana pun.

Senyuman getir terulas di bibirnya. Angel mengusap titik air mata di ujung kelopak mata. Menarik ingus lalu menggigit bibir. Jemarinya terpilin, mendekap permukaan ponsel. Dia benar-benar berharap tidak melewatkan getaran sekecil apa pun.

Lonceng di pintu berbunyi nyaring. Angel mendongak. Seorang pria melangkah masuk. Memamerkan senyuman mautnya seperti biasa. Seolah tidak ada yang terjadi setelah insiden rainbow cake di danau itu.

"Apa kabar?"

"Ba—baik," Angel tergagap lalu menunduk.

"Apa menu istimewa Kiandra pagi ini?"

"Black forest."

Angel menatap takut-takut. Meski begitu, pikirannya berjejal dengan sejuta pertanyaan. Kamu ke mana saja? Apa yang kamu lakukan? Apa kamu baik-baik saja? Apa kamu enggak merindukanku? Ahh, mana mungkin pria itu merindukannya.

"Black forest?"

Bahunya terangkat ke atas, tersentak sesaat hingga lamunan kilat di dalam pikiran semuanya buyar. "Kamu pesan itu?" Angel menarik napas gelisah di akhir kalimat. Matanya melirik diam-diam ke arah pria itu.

"Boleh. Aku pesan dua porsi dengan dua gelas susu cokelat hangat."

"Baik. Nanti aku antarkan."

Elliot tersenyum sekilas, mengangguk sekali lalu berjalan menuju meja yang berada di paling ujung yang berbatasan langsung dengan jalan raya. Pria itu menatap jalanan tanpa banyak bicara. Sesekali Angel mencuri pandang untuk melihat sosoknya yang tegap, rahangnya yang tegas dan rambut pirangnya tersisir rapi ke samping.

Angel menarik napas ragu. Dia kemudian mengusapkan telapak tangannya yang berair. Tubuhnya kikuk saat membawa nampan dan berjalan mendekati meja tempat Elliot duduk. Dia berdeham pelan sebelum meletakkan nampan di meja.

Pria itu terkesiap dan mendongak. Mengulum senyuman tipis sebelum bangkit berdiri. "Duduklah!"

"Apa?"

"Aku mau bicara."

"Tapi—"

"Hanya sebentar. Lagi pula, sekarang masih pagi dan aku sudah minta izin pada Martha." Suara Elliot mulai terdengar memaksa.

Angel mengangguk sekali lalu memposisikan dirinya duduk di kursi yang disiapkan Elliot. Sementara pria itu berjalan memutar menuju sisi lain meja. Angel menghela napas dan mengetukkan ujung kuku tangan kanannya di meja. Dia juga berkali-kali menelan ludah dan mengusapkan telapak tangan kirinya di celemek. Kegiatan multitasking selama beberapa detik yang menyesakkan.

Elliot duduk tepat di depan Angel. Tersenyum tipis sembari mendorong sepiring kue dan segelas susu cokelat ke arah gadis itu.

"Terima kasih," ucap Angel nyaris tak terdengar.

Better Than Almost AnythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang