Marble Cheseecake (1)

687 95 6
                                    

Elliot tersentak lalu tersengal. Napasnya memburu ketika kelopak matanya baru saja terbuka. Sensasi yang sama setelah bangun tidur, mimpi buruk itu ternyata masih terus berlanjut. Kali ini bahkan banyak suara ikut hadir meramaikan mimpi itu seolah adegan selama ini masih kurang mencekam.

Kalau dipikir lagi semua ini hanya mimpi, tetapi sensasi ketika terjebak di ruangan gelap dan pengap ditemani dengan suara gaduh tangisan wanita serta anak-anak tetap saja mengerikan. Dibayangkan pun, tetap menakutkan. Dia memiringkan kepala mencoba mengingat-ingat lagi mimpi barusan dengan lebih detail. Suara gaduh itu juga diwarnai dengan suara jeritan wanita.

Elliot menggeleng beberapa kali, tiba-tiba merasa konyol saat memikirkan mimpi buruk yang dialaminya. Sekarang mimpi itu berubah menjadi teror dari wanita-wanita yang tidak dikenalnya, seingatnya dia tidak punya banyak pacar di masa lalu. Tidak cukup banyak untuk menghadirkan kebisingan di alam bawah sadarnya.

Apakah yang dilakukannya pada wanita-wanita itu? Mungkinkah tangisan wanita itu salah satunya adalah istri Charles yang fotonya tengah memeluk peti hingga terlampir di koran ataukah wanita lain yang mungkin tersakiti dengan semua ketamakannya selama ini?

Elliot menarik napas berat. Dia sudah meminta maaf kepada Charles dengan mendatangi makam pria itu. Apakah semua itu belum memberinya pengampunan?

Dia menghapus peluh yang membasahi kening lalu mengalihkan mata birunya dari layar monitor yang masih menyala. Ternyata dia tertidur lagi dan lupa mematikan komputer karena terlalu memaksakan diri untuk bekerja dalam kondisinya sekarang. Matanya melirik sejenak pada kardus mungil yang teronggok di sana sejak malam itu. Kardus yang ditinggalkan oleh Angel. Kardus itu masih utuh dan tak tersentuh. Orange dream juga masih berdiam rapi di dalam kardus, terlipat bersama harapannya yang telah hancur. Mungkin kue itu juga rusak atau mungkin busuk?

Ah, sudahlah. Tidak ada gunanya memikirkannya lagi. Elliot akhirnya bangun dan melangkahkan kaki turun dari ranjang. Dia berjalan mendekati jendela besar yang langsung menghujamkan pemandangan kota ke dalam pandangan matanya. Pemandangan kota berlatar yang terhampar di depannya sekarang memberikan efek lega pada pikiran yang penat. Permasalahan mimpi, Charles hingga Angel. Betapa menyedihkannya bahkan mimpi saja menjadi masalah baru untuknya. Elliot menarik napas berat, mencoba memilah satu kenangan dengan yang lain, berusaha hanya ingin memikirkan Angel di atas semuanya.

Ingatannya melayang kembali kejadian tadi malam kala dia menemui Becca. Wanita itu hanya mengatakan kalau dia hanya memberikan ucapan. Tidak ada maksud tersembunyi. Namun, apa yang akan dikatakannya pada Angel. Pilihan pertama adalah memberikan penjelasan seperti yang dikatakan Becca, tapi itu akan sangat konyol. Wanita marah mana di dunia ini yang mau menerima penjelasan. Lalu opsi kedua, memberi hadiah. Bagian ini mungkin berlaku untuk beberapa tipe wanita lain, tapi Angel bukan salah satunya. Kemudian, pilihan terakhir adalah tetap bersikap biasa saja dan memberikan perhatian. Ini jadi pilihan paling menyedihkan karena selama ini dia sudab memberikan semua itu. Namun, gadis itu sama sekali tidak berpaling ke arahnya.

Elliot menarik napas berat dan duduk di kursi. Dia kemudian menaruh kepala di sandaran kursi. Ada dorongan yang membuatnya ingin memelesat keluar sekarang juga menuju Kiandra. Memeluk gadis itu dan mengatakan kalau dia begitu merindukannya. Ingin mengatakan padanya, betapa hari ini berat untuknya. Satu hari tanpa Angel dan terpuruk dalam mimpi-mimpi buruk. Setidaknya dia ingin berbisik di telinga gadis itu untuk memberikannya mimpi indah malam ini. Oke, bagian ini terdengar sangat murahan. Tetapi, Elliot tidak punya cadangan kata-kata lain untuk diucapkan.

Bibirnya mengulum senyuman. Semua hal itu tidak mungkin dilakukan sekarang karena ada yang salah dengan tubuhnya. Sejak tadi pagi, dia hanya berkutat dengan dokter dan obat. Jika Angel melihatnya dalam keadaan seperti ini, gadis itu mungkin akan kasihan dan memaafkannya. Angel mungkin akan berbaik hati untuk berpura-pura seolah tidak ada yang terjadi malam itu. Namun, bukan hal itu yang diinginkannya. Dia ingin jika Angel memperhatikannya. Perhatian yang berasal dari hati, bukan karena belas kasihan. Lagi pula, Angel dalam kondisi marah saat mereka berpisah terakhir kali. Mungkin memberikannya sedikit ruang untuk melampiaskan kemarahan adalah keputusan terbaik untuk saat ini hingga nanti mereka berjumpa lagi nanti, suasana hati gadis itu mungkin sudah lebih baik. Semoga saja.

Pandangannya kini tertuju pada ponselnya yang juga sama bisunya seperti suasana rumahnya hari ini. Berkali-kali dia menghubungi Angel. Akan tetapi, gadis itu bahkan tidak mempedulikannya. Dia melipat bibir sementara pikirannya terus berteriak.

Dia ingin sekali bertanya, bagaimana harinya? Apakah saat menatap jalanan di depan Kiandra pagi ini, ada pria tampan yang melintas dan menarik perhatian gadis itu? Apakah Angel juga merindukannya? Apakah jantungnya berdebar-debar meski hanya memikirkan dirinya saja? Lalu pertanyaan paling mengerikan, apakah dirinya pernah melintas di dalam pikiran gadis itu meski hanya sekali saja?

Tangannya terkepal. Dia bukan siapa-siapa jadi tidak memiliki hak untuk sekadar bertanya. Hanya salah satu dari sekian banyak orang asing yang terjangkit penyakit cinta. Itu bukan alasan. Apalah arti dirinya yang kotor untuk malaikat seperti Angel. Berharap melintas sebentar saja di benak gadis itu adalah suatu kehormatan. Elliot kemudian meraih rokok dari saku. Menyulutnya hingga cincin kemerahan terbentuk di ujung puntungnya. Jika dirinya yang dulu mengalami perasaan serumit ini maka dia akan mengejar gadis itu. Memaksanya untuk memberikan hatinya atau minimal tubuhnya.

Memberikan tubuh?

Pikirannya tetap saja liar. Itulah dirinya yang sebenarnya. Dirinya yang diliputi tujuh dosa besar, yang bahkan tidak mengendalikan ketamakan, nafsu dan kemarahan jika dia belum mendapatkan apa yang dia inginkan. Sedangkan Angel, begitu rapuh bagai gelembung yang akan pecah kala tersentuh. Sekarang, dia menginginkan Angel dan dia berharap akan mendapatkan hati gadis itu. Lalu, yang terpikirkan adalah soal tubuh. Sial, dirinya memang tidak banyak berubah. Seperti kata Angel, tidak ada manusia yang berubah dalam waktu cepat.

Asap rokok mengepul, berpecah dan terpisah menjadi partikel mikroskopis kala bersentuhan dengan udara. Dia perlu minum sekarang. Kakinya melangkah menuju dapur, tempat yang ditolaknya sejak tadi. Dia benar-benar tidak ingin ke sana karen dia menemukan sosok gadis itu di setiap sudut dapur. Dia bahkan bisa mengingat aroma manis cokelat dan buah yang menguar dari tubuh gadis itu. Mungkin itu membuatnya tertarik pada Angel. Pembenaran kedua, dia memang mungkin mulai gila. Ya, mungkin dirinya sudah tidak waras.

Jemarinya meraih kenop pintu lemari es. Kakinya terpaku sejenak. Sepotong Marble cheesecake pemberian Becca masih bertengger di atas permukaan salah satu rak. Dia menarik napas berat. Ornamen cokelat yang mewarnai warna kuning keju membuatnya sebal. Hatinya seperti itu saat ini, seperti tengah terserang sirosis mengerikan yang membuat organ itu menghitam karena rasa rindu. Dia baru tahu kerinduan itu candu. Candu yang bahkan tidak akan tuntas dengan pertemuan. Mencintai itu membuat tubuhnya lelah. Lelah menolak keinginan hati yang tidak masuk akal. Itu juga yang mungkin membuat banyak orang lelah jatuh cinta, ekspektasi yang membuat cinta lama-lama terkikis. Sama seperti dirinya yang letih karena hati yang dicintainya tidak kunjung memberinya harapan. Elliot mendorong kasar potongan kue itu hingga menelusup lebih dalam sebelum membanting pintu lemari es hingga menutup.

Better Than Almost AnythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang