Rainbow Cake (1)

680 80 4
                                    

Angel mengayuh sepeda. Dia menarik napas pelan, untuk menghirup udara pagi. Minggu hanya hari lain dari hari yang lain. Sesaat dia menunduk, menatap mantel tebal yang membungkus tubuhnya pagi ini. Jemarinya meremas handbrake, terkepal sebelum akhirnya menghela napas. Pikirannya masih tertuju pada perlombaan yang akan diadakan sebentar lagi.

Setiap sesi latihan bersama Martha cukup menyenangkan. Meski begitu, dia sendiri belum yakin apakah sudah cukup siap dengan kemampuan memasaknya yang masih belum terlalu baik hingga saat ini. Walaupun Martha bilang kalau dirinya sudah cukup hebat. Apalagi sejak Martha berencana untuk menambahkan karachi ke dalam menu setelah dia membuat kue kering itu beberapa hari lalu. Bukan pertanda yang buruk, dia tahu itu. Hanya saja, dia masih belum percaya diri.

Mungkin karena dia merasa memiliki beban. Selain mimpinya sendiri, perlombaan itu bagai titik balik untuk menunjukkan diri pada Elliot bahwa dia setara dengan pria itu. Dorongan Elliot juga membuatnya bersemangat. Hanya saja, tidak mendengar kabarnya selama beberapa hari membuatnya rindu. Meski kemarin dia menelepon, hanya untuk mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Namun, sosoknya hilang bak ditelan bumi. Dia bahkan tidak memesan kue dari Kiandra. Desahan keluar dari bibirnya. Mungkin dia sibuk. Dia mengerti, hanya saja dia merindukannya.

Merindukan senyuman yang menimbulkan kerut di kedua sisi matanya. Mata biru beningnya yang menyorot tajam, tapi tetap terlihat tulus. Suaranya yang maskulin tapi menenangkan. Rindu itu terasa meletup, tak tertahankan. Rasa yang nyaris mendorongnya untuk berlari ke kamar hotel pria itu untuk mengatakan bahwa dia menginginkannya hadir kembali di hari-harinya. Namun, semua itu tidak dilakukan. Dia memang ingin bertemu pria itu, hanya saja kalau sudah bertemu apa yang akan dikatakannya. Percakapan terakhirnya di panti hanya membahas cara mengakhiri hidup. Sambungan telepon pun hanya bertanya kabar. Tidak lebih dari itu.

Selama ini hanya keraguan yang mendominasi, seperti tangannya ingin meraih pria itu, namun kakinya terbelenggu. Hatinya bergelayut manja berharap kehadiran pria itu. Namun, tanpa kejelasan dari Elliot, dia tetap bukan siapa-siapa. Dia memang tipe gadis kuno, tanpa ada kejelasan hubungan maka rasanya tidak pantas untuk berharap. Menurutnya, dia hanya berperan mirip kedai. Selalu ada untuk disinggahi tanpa tahu pelanggan itu kapan akan datang dan pergi.

"Angel!"

Angel mendongak lalu mencari arah datangnya suara. Matanya menyipit lalu melebar. Elliot melambaikan tangan. Pria itu tengah duduk di atas sepedanya. Bibirnya tertarik membentuk tawa lebar. Jantungnya berdegup kencang. Rasanya seperti tersiram air dingin saat melihat pria itu. Rasa rindu yang terlampiaskan. Mungkinkah Tuhan menjawab perasaannya. Tuhan. Ah, tunggu, dia bukan orang religius.

"Angel, hei!" Elliot melambaikan tangan. "Pagi-pagi sudah melamun."

"Sedang apa kamu di sini?" kata Angel akhirnya, keningnya berkerut kebingungan.

"Lama sekali!" keluhnya. "Aku menunggumu di sini sejak sejam lalu."

"Menunggu?"

"Iya."

"Serius?"

"Iya."

"Kok bisa?"

"Aku tahu kamu akan lewat jalan ini tepat jam delapan pagi, makanya aku menunggu sejak satu jam lalu." Elliot tersenyum malu-malu. "Jangan tanya aku tahu dari mana, aku punya informan."

"Aku tahu. Martha. Aku hanya heran, tumben sekali langsung mengaku kala memang nunggu, bukan berkilah soal kebetulan yang membentuk takdir seperti biasanya."

"Aku mau menyerah kalau urusan itu." Elliot mengangkat bahu dengan pasrah. "Ngomong-ngomong kamu mau ke mana?"

"Enggak ada tujuan. Hanya ingin keluar saja," sahutnya dengan suara gemetar. Bibirnya yang berkedut salah tingkah dan debaran jantungnya yang liar ini akan membuatnya malu.

Better Than Almost AnythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang