Elliot mengucek matanya yang mulai perih sementara layar monitor di depannya masih berkedip. Dia kemudian menarik napas panjang ketika merasakan sesak di dada. Elliot membuka mulutnya lebih lebar untuk mencari lebih banyak. Dia juga meregangkan tubuhnya yang kaku. Meski begitu, denyutan nyeri mulai terasa di pergelangan tangan. Dia memutar lengan berharap rasa nyeri itu hilang. Sial, rasa sakit itu malah semakin menguat. Elliot menggertakkan gigi saat jemarinya meraih botol obat yang tersimpan berantakan di laci meja kerja. Langsung meraup beberapa pil lalu menelannya dengan serampangan. Dia hanya berrharap rasa sakit itu segera mereda dan tidak lagi menyiksanya.
Setelah menelan butiran pil itu, Elliot menaruh kepalanya di punggung kursi. Rasa nyeri masih terasa, tetapi dia memilih tidak melakukan apa pun dan hanya menatap langit-langit. Dia bahkan tidak bergerak saat jam dindingnya mulai menimbulkan bunyi yang cukup nyaring yang bergema di ruangan yang sunyi. Elliot mengembuskan napas ketika rasa nyeri itu mulai pudar.
Dia melirik layar monitor sekali lagi. Layar itu dipenuhi banyak tulisan, berita terbaru di kota yang selesai dibacanya barusan. Elliot mendesah pelan, lagi-lagi berita bunuh diri. Kenapa banyak sekali orang mengakhiri hidupnya akhir-akhir ini? Depresi? Kesepian atau kesulitan ekonomi.
Elliot menelan ludah saat pilihan terakhir itu bergelayut manja di dalam otaknya. Dia mengurut pelipisnya yang berdenyut. Jemarinya bergeser ke tengkuk dengan bulu-bulu halus yang mulai meremang. Ada hawa dingin yang terasa menyentuh tulang belakangnya dan menimbulkan gelenyar kegelisahan yang mengganggu. Dia menggeleng perlahan sembari mencoba menghapuskan gagasan buruk yang muncul di benaknya. Semua ini hanya khayalannya saja. Iya, benar. Hanya halusinasi dan refleksi rasa takutnya saja.
Dia bangkit dari kursi dan meraih mantel hitam dari gantungan sebelum bergerak keluar. Tangannya dengan sigap menyelipkan dompet di dalam saku lalu menutup pintu kamar hotelnya sebelum melangkah keluar. Dia menyentuh nomor lantai dasar di depan lift dan berdiam diri di depan pintu. Sejujurnya, dia benar-benar cemas saat memikirkan kemungkinan hanya dirinya sendiri yang ada di dalam kota sempit bergerak itu. Namun, dia mendesah lega saat ada terdapat seseorang yang kini ada di dalam benda itu. Tidak sendirian itu lebih baik. Elliot kemudian melangkah masuk dan langsung berdiri di pojok lift.
Hanya dia dan pria itu hingga lift sampai di lantai dasar. Begitu pintu terbuka, dia bergerak keluar. Elliot terus berjalan dan mengabaikan kesibukan pagi yang mulai bercengkrama di lobi hotel. Terus berjalan tanpa henti hingga menyusuri jalanan yang lengang. Matanya menatap kota yang masih terlalu sepi. Ini suasana yang dicarinya. Kesunyian dan ketenangan, tetapi tidak mencekik seperti di kamar hotel.
Elliot terus berjalan. Sesekali menendang kerikil mungil di jalanan. Dia kadang mengamati beberapa orang yang melewati jalanan menggunakan sepeda, ada juga beberapa lansia yang berjalan kaki dengan pasangannya. Dia menarik napas pelan dan mengabaikan semua itu meski dia tidak memiliki tujuan pasti.
Pada satu waktu, tatapannya terkunci pada satu toko kue mungil, tepat di ujung jalan. Warna cat toko kue dengan dominasi warna merah muda itu menarik perhatiannya karena terjepit sendiri di ujung dengan warna mencolok. Setidaknya warna cat kedai itu cukup mencuri perhatian pejalan kaki, tetapi tidak cukup menakjubkan untuk membuat pengunjung singgah. Selain itu, butik-butik pakaian dan sepatu dengan brand mahal berjejeran di sampingnya membuat kedai itu semakin terlihat buruk saja.
Seingatnya, pemiliknya adalah Martha, wanita keturunan Asia yang sering sekali berkunjung ke hotel miliknya untuk menawarkan kue sebagai menu sarapan. Pemilik kedai itu berusaha untuk melakukan kerjasama dengan hotelnya. Untuk itulah pemiliknya mengiriminya kue selama seminggu terakhir agar dia bisa mencoba rasa kue yang dihasilkan kedainya. Elliot juga yang meminta tujuh kotak macaroon dengan sengaja. Dia pikir keinginannya tidak akan dituruti, tetapi ternyata Martha mampu memenuhi permintaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Than Almost Anything
Literatura FemininaBagaimana kalau mimpi buruk yang selama ini kamu alami bukan hanya sekadar mimpi? Elliot, pemilik hotel terbesar di kota selalu dihantui mimpi buruk. Pada satu malam, seorang anak perempuan misterius memberikannya fortune cookies dengan secarik pesa...