Marble Cheesecake (2)

169 41 0
                                    


Angel menutup korden kamarnya. Kegelapan membuatnya lebih nyaman. Beberapa buku resep berserakan di meja tepat di dekat ponselnya. Dia berharap ponsel itu berbunyi saat dia sibuk mempelajari resep. Namun, tidak ada satu pun panggilan masuk. Bahkan satu pesan singkat pun tidak ada yang sudi mampir.

Dia ingin menghubungi pria itu, menanyakan kabarnya dan meminta maaf. Hanya saja, lidahnya kelu karena sama sekali tidak terpikirkan cara meminta maaf dengan benar. Tidak memiliki alasan untuk menjelaskan tindakanya malam itu. Ya, dia memang bodoh dan aneh karena langsung marah hanya karena kata-kata di memo yang bahkan tidak ditulis oleh Elliot. Tetapi, pikirannya sedang tidak bisa diajak bekerjasama untuk memberikan gagasan yang benar saat itu.

Angel menarik napas dan menyentuh dadanya. Jantung itu berdegup kencang tanpa alasan. Penyesalan, keinginan untuk bertemu dan melihat wajahnya bercampur jadi satu. Namun, siapa dirinya hingga dia memperlakukan pria sebaik Elliot seperti itu?

"Malaikat?"

Bibirnya tertarik membentuk senyuman miris. Konyol. Itu hanya ucapan Elliot untuk merayunya. Mana mungkin ada malaikat sepertinya. Kalaupun ada malaikat di dunia ini yang seburuk dirinya maka dia mungkin masuk malaikat terkutuk yang diusir dari surga.

Elliot, ah, dia tidak bisa berhenti memikirkannya. Sosok pria itu juga diam-diam memenuhi pikirannya sejak pagi. Masuk tanpa izin dan berjejalan tanpa sopan santun. Angel mendesah. Haruskah dia menghubunginya? Tapi, untuk kepentingan apa? Dia harus bilang apa?

Angel beranjak berdiri dan melangkah keluar. Dia masuk ke dapur lalu berbalik lagi ke kamar untuk mengambil ponselnya. Pikirannya benar-benar tidak fokus sekarang. Dia menaruh ponselnya di atas meja makan sebelum membuka oven di mana dia memanggang cookies cokelat sejak empat puluh lima menit lalu. Dia menarik nampan keluar dari panggangan. Harum kue seketika menyebar ke dalam ruangan. Sepertinya enak, sayang sekali dia tidak begitu suka cokelat. Tapi, kalau Elliot ada di sini maka dia akan senang hati mencicipi cookies cokelat ini.

Ah, Elliot lagi. Ya, Tuhan. Sejak kapan pria itu berdiam di dalam pikirannya?

Lalu, yang dilakukannya sekarang juga menyedihkan. Dirinya pasti tampak begitu kesepian hingga hanya menghabiskan seharian ini dengan berkutat di dapur, memasak dan berlatih untuk kompetisi. Namun, dia tidak memiliki hal lain yang bisa dilakukan tanpa mengingat pria itu. Sialnya lagi, berlatih untuk kompetisi pun membuatnya ingat pada Elliot.

Manik matanya kini melirik ke arah ponsel di meja yang masih tetap diam tanpa satu pun suara sejak satu jam belakangan. Padahal sejak tadi pagi ponsel itu berdering hingga rasanya memuakkan. Namun, ketika benda itu diam seperti yang dia harapkan, entah kenapa rasanya sepi.

Rasa sepi yang konyol kalau dipikirkan terlalu berlebihan karena kesepian itu sudah ada sejak dulu. Dia sudah terbiasa dengan semua rasa sepi ini dan seharusnya dia tidak memerlukan kehadiran seseorang untuk membuatnya merasa lebih baik. Dia hanya terpuruk malam itu, pada pagi harinya dia sudah berusaha melupakannya semuanya dan menyibukkan diri untuk berlatih. Namun, kenyataan ini menamparnya juga dalam satu waktu. Kenapa sekarang dia membutuhkan pengalih perhatian untuk sekadar menghapuskan pria itu dari pikiran? Sejak kapan dirinya selemah ini?

Angel tersentak. Benda itu berdering nyaring. Lampunya menyala menandakan ada panggilan masuk. Satu nama tertera di layar. Nama yang ditunggunya sejak tadi.

"Elliot?" gumamnya pelan tanpa bisa menutupi kelegaan dalam suaranya.

Jemarinya meraih ponsel dan keningnya berkerut menatap deretan nomor di layarnya. Senyuman mengembang di bibirnya, penelepon itu benar-benar Elliot. Takdir kini kembali bermain-main dengannya. Takdir mengabulkan keinginannya setelah sekian detik. Sangat fantastis.

Angel ingin bertanya, ke mana saja pria itu? Kenapa membutuhkan satu hari penuh untuk sekedar menghubungi? Ingin mengatakan kalau dia marah karena Elliot tidak kunjung menghubunginya. Meski Elliot tidak sepenuhnya bersalah, dialah yang bersalah dan tidak berusaha untuk menghubungi terlebih dahulu. Kenapa dia berhenti menghubungi saat dia tidak diacuhkan pagi hari tadi? Kenapa dia tidak datang ke Kiandra? Banyak hal berdesakan untuk ditanyakan. Angel mengepalkan tangan, berusaha menahan diri.

"Halo." Suaranya nyaris tidak terdengar.

"Hai, Angel!" Suara Elliot terdengar serak dan tidak seceria biasanya.

"Apa Anda sakit?" tanya Angel sembari menggigit bibir.

"Mungkin."

Ini menyebalkan. Tidak ada orang yang ditanyai dengan kondisinya malah menjawab dengan kata mungkin. Namun, Angel berusaha untuk tidak marah sekarang.

"Angel!"

"Ya."

"Apa kamu tahu kalau ada marble cheesecake di lemari es sekarang?"

"Tidak, saya kan tidak ada di rumah Anda, Sir."

Elliot tertawa pelan. "Kamu benar."

"Anda ingin aku datang dan memakan kue itu?"

"Enggaklah, Angel. Ini bukan soal makan kue."

"Lalu, apa yang ingin Anda katakan?"

"Memangnya kamu akan ke sini kalau aku bilang sedang sakit?"

Angel menggigit bibir, pikirannya berkecamuk dengan berbagai gagasan. "Mungkin."

Elliot terdengar terkekeh dari seberang. "Aku sakit sekarang."

"Jangan bohong."

"Aku serius. Hatiku seburuk marbel cheesecake sekarang dan semua itu gara-gara kamu."

"Seburuk itu?" Angel menimpali.

"Hingga beberapa detik lalu."

"Apa sekarang Anda sudah jauh lebih baik?" Angel menimpali.

"Kamu ingin aku menjawab apa?" tanya Elliot lagi.

Angel terdiam, mendadak kebingungan. Bibirnya gemetar untuk merangkai jawaban. Dia ingin kalau Elliot mengatakan kalau pria itu merindukannya. Tetapi, dia menelan lagi semua kata-kata itu. Dia tidak pernah mengucapkan hal semacam itu sampai kapan pun. Matanya kini menatap cookies cokelat panas yang kini masih berjajar di nampan.

"Aku merindukanmu, Angel." Pria itu mendesah.

Napasnya tercekat ketika pria itu mengatakan kalau dirinya dirindukan. Senyuman pelan-pelan merekah di bibir. Jantungnya mulai berdebar tak menentu.

"Apa kamu juga merindukanku?" tanya Elliot lagi.

"Apa Anda mau memakan cookies cokelat buatanku," katanya akhirnya.

"Kalau itu jawaban kalau kamu ingin bertemu denganku maka jawabannya pasti iya, Angel."

"Anda boleh berpikir apa pun, Sir."

"Baiklah. Jadi, kamu buat kue apa?"

Angel menjelaskan kue buatannya pagi ini. Senyuman mengembang semakin lebar di bibirnya saat pria itu mengatakan kalau dia dengan senang hati akan memakan semua kue buatannya. Dia berjanji akan datang sebentar lagi dan Elliot akan menunggunya. Untuk pertama kalinya, Angel tidak keberatan dengan letupan-letupan kecil di dalam dadanya.

Better Than Almost AnythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang