Part 0.5

85 15 2
                                    

Happy reading 😘
****
★★★

Ya Tuhan! Apa yang telah ia lakukan? Dengan khawatir gadis itu berlari berusaha menggapai ibunya. Di bawah, darah menggenang. Tangan gadis itu bergetar. Berusaha menyentuh tubuh ibunya.

"Jangan sentuh!" tangannya ditepis seseorang. Kakaknya, menatapnya dengan penuh kebencian. Gadis itu tergugu. Apa yang telah ia lakukan?

Gadis itu menatap kosong tubuh yang tergeletak tepat di depannya. Berlumuran darah. Gadis itu menatap kosong. Tak mengerti apa yang telah terjadi padanya. Bunyi ambulan memekakkan telinga. Gadis itu tetap tercenung. Menatap tanpa berani menyentuh. Apa yang terjadi pada dirinya?

Tubuh ibunya diangkat oleh petugas rumah sakit. Kakaknya mengamuk. Adiknya berteriak histeris saat melihat ibu berlumuran darah. Ayahnya berseru kaget, tidak percaya. Mereka menatap gadis itu yang menatap kosong darah di depannya.

Mereka memilih tidak mengacuhkan gadis itu. Berlari dan ikut menaiki ambulan tersebut. Meninggalkan gadis itu sendirian. Batinnya terguncang. Menatap kosong. Ia tidak tau, apa yang seharusnya ia rasakan sekarang?

Hujan mulai turun dengan derasnya.

Gadis itu berdiri, berjalan keluar. Ia terus berjalan lurus, tetap diam. Mengacuhkan orang yang sesekali bertanya padanya. Tidak mempedulikan orang yang mengernyit bingung melihatnya. Ia terus berjalan tanpa peduli. Hanya satu tujuannya.

Satu setengah jam. Tanpa henti, tanpa berlari panik. Gadis itu sampai di rumah sakit, tempat ibunya tengah menyabung nyawa sekarang. Gadis itu menatap lamat-lamat plang rumah sakit itu. Ia tidak paham kenapa, rasanya janggal untuk masuk ke ruangan itu. Serasa, ada sesuatu yang mengerikan menantinya.

Lima belas menit diam di depan pagar rumah sakit. Satpam berkali-kali menegur, bahkan mengusirnya. Tapi gadis itu tidak bergeming. Walau kemudian ia memutuskan, melangkah menuju ruang UGD tersebut.

Terlihat ayah, kakak dan adiknya sedang gelisah di kursi tunggu. Ia berdiri sekitar 50 meter dari sana. Si gadis seakan sedang menjaga jarak. Ia akhirnya mengerti apa yang ia rasakan sekarang. Ia akhirnya mengerti.

Ia tidak takut akan ditampar oleh kakaknya. Ia tidak khawatir jikalaupun ayahnya akan mengusirnya. Ia tidak masalah jika adiknya akan membencinya. Ia tidak akan melawan jika itu terjadi. Hanya saja, ia merasa bersalah. Amat sangat.

"Ayah.." dengan langkah kaku, gadis itu menghampiri ayahnya. Tatapan gadis itu disambut lirikan tajam oleh sang ayah. Ayah si gadis tidak menghiraukan panggilan gadis itu. Gelisah, mondar-mandir.

Satu jam lagi berlalu. Akhirnya dokter keluar gari ruangan UGD, semua langsung menghambur menhhampiri dokter itu. Terkecuali si gadis. Ia tetap diam, memperhatikan dan mendengar pembicaraan dokter itu dari jauh.

"Ibu sedang dalam keadaan koma, jika dalam 2 hari ia belum stabil, saya ikut prihatin," samar-samar sang gadis mendengar pembicaraan dokter dengan ayahnya itu, "hmm, itu tidak jauh berbeda dengan keadaan bayi,"

Dokter terlihat pamit, pergi ke ruangannya. Menyisakan ayah yang mengusap wajahnya frustasi. Kakak yang sedang merangkul tubuh adik bungsunya itu.

Gadis itu berjalan menghampiri mereka. Kehadiran sang gadis dihadapan ayah berhasil membuat kakaknya menoleh tajam. Penuh sirat kebencian. Penuh dengan tatapan kesinisan.

"Apa urusanmu datang ke sini ha?" ujar kakak sambil tertawa sinis.

"Apa yang kau katakan Angga? Tak sepantasnya kau berkata seperti itu pada adikmu!" ayah membentak Angga, dengan perasaan jengkel.

"Ha? Tidak pantas ayah bilang? Harusnya yang tidak pantas itu adalah berkata manis kepada orang yang menjadi dalang pembunuhan ibu dan adikku!" desis Angga sambil menatap tajam. Sang gadis menatap lantai, tidak sanggup melihat bagaimana ekspresi ayahnya sekarang.

"Maksudnya?" tanya sang ayah, nyaris berbisik, tidak percaya.

"Iya, dia yang telah membuat ibu hampir meninggal yah! Dia mendorong ibu dari lantai 2, yah! Dia sadar mereka sedang di tepi tangga. Tapi, tapi gadis ini," Angga merasakan sesak di dadanya. Ia juga tidak akan percaya, tapi ia melihatnya sendiri.

"Dan dia, bahkan secara tidak langsung mengatai ibunya pelacur," desah Angga. Ia baru sampai di rumah saat ia mendengar sang gadis menyebut dirinya sendiri sebagai anak haram. Ia tidak menyangka adik manisnya itu telah berkata sedemikian kejamnya.

"Benarkah begitu, nak?" ayah merasaka tubuhnya bergetar menahan emosi. Ia tidak menyangka! Sama sekali tidak!

Gadis itu tidak menjawab, terus menatap keramik di bawahnya.

"Benarkah begitu??!!!" ayah mulai berteriak karena emosi tak tertahankan.

"Benar yah, tapi, tapi,"

"Jangan pernah kau panggil aku ayah lagi!" desis ayah tajam. Ucapannya bagai guntur di siang hari bagi si gadis. Tubuhnya seakan terkena arus listrik tegangan tinggi. Tubuhnya kaku.

Mendadak, terdengar seruan panik dari suster dari ruangan ICU, tempat ibunya tengah dalam keadaan koma.

"Dok, dokter, kondisi detak jantung pasien mulai tidak stabil," seruan itu terdengar bersahut-sahutan. Membuat ketiga anggota keluarga sang gadis segera menghampiri ruangan tersebut.

Kegaduhan sesaat terdengar. Ayah tak bisa tenang. Kakak mengerang gelisah. Adik menahan getaran di tubuhnya karena takut. Dan gadis itu? Ia sedang mengucapkan ribuan doa. Mungkin terlihat tenang. Tapi mulutnya tak bisa untuk tenang.

Akhirnya kerusuhan itu mulai selesai. Nyaris terlihat tidak ada sebelumnya. Dokter terlihat keluar dari ruangan ICU.

"Ada apa dok? Apa yang terjadi?" Gadis itu ikut nimbrung, mengerumuni dokter itu. Meski ia tetap menjaga jarak setengah meter.

"Maafkan kami, kami sudah berjuang semaksimal mungkin. Tapi, Tuhan tidak menanggapinya,"

Sekali lagi, guntur bagai membumi hanguskan hati gadis itu. Menyisakan debu yang nyaris tanpa guna.

PLAKKK! Tamparan dari kakak laki-lakinya itu sukses membuat hati sang gadis diporak-porandakan badai. Membuat debu dari sisa hatinya yang telah dibumi hanguskan itu musnah. Membuat dadanya benar-benar kosong. Tak ada lagi hati itu! Tak ada, bahkan sisanya pun tidak ada.

"Masih berani kau memperlihatkan wajahmu depan kami ha? Dasar anak yang tak tau diuntung!" dan sekali lagi, ucapan kakaknya seakan membuat tubuhnya tegang. Tak bisa digerakkan

Kalimat itu seakan telah memvonisnya benar-benar bersalah. Ia adalah seorang pembunuh. Ia adalah seorang psikopat. Bisakah ia memaafkan dirinya sendiri? Entahlah, mungkin tidak.

Maka, gadis itu memutuskan pergi. Pergi dari kehidupan keluarga yang dicintainya. Pergi dari segala sesuatu yang telah ia hancurkan. Ia menyesal, amat sangat. Tapi? Bagaimana hendak dikata? Semua sudah selesai.

*****★★★★★

Mohon vote and comments nyaa :*

How Are You, Hate? (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang