Chapter 15

82 14 4
                                    

Happy reading.. Awas typo..
---__----__---

Tatapan datar dokter itu berhasil membuat Cinta merinding. Apa yang telah terjadi pada ibunya? Apa ibunya akan baik-baik saja? Cinta takut, sungguh takut.

"Bagaimana, dok?" pertanyaan Arul menggantung.

"Tidak apa-apa, kondisi Elsa sudah stabil. Dia sedang tidur sekarang, dan juga sudah bisa dipindahkan ke ruang inap. Bapak bisa mengurusnya di administrasi," Dokter itu mengangguk, lalu beranjak pergi.

Cinta memeluk ayahnya erat. Sungguh, ia lega sekali. Teramat lega. Kekhawatirannya lenyap sudah.

"Arul, sumpah, lu bikin gua khawatir. Bilang kek kalau pergi ke sini," Rifqi datang dengan nafas tidak teratur. Jelas dia berlari mengejar Arul. Yang dimarahi hanya nyengir, tidak berdosa.

"Ish, ayah. Ayuk, biar Cinta antar ke ruangan ayah. Daddy, tolong urusin administrasinya Ibu ya,"

Rifqi mengangguk menanggapi ucapan Cinta. Ia berbalik, menuju tempat ia akan mengurus segala keperluan itu.

"Oh ya, tolong buat gua sekamar sama Elsa ya bro!" ucap Arul, berhasil membuat Rifqi kembali menatapnya.

"Iya, gua tau. Gua gak mau stress lagi cuma buat mondar-mandir ngikutin lu biar gak lari lagi," Rifqi memutar bola matanya jengah.

Kekehan keluar dari bibir Arul. Sebenarnya ia tidak ingin membuat Rifqi repot. Dia kembali ke Indonesia dari Prancis buat nyelesain masalah perusahaan. Tapi, dia malah kerepotan mengurus dirinya.

Sementara itu, Rifqi bergegas ke ruang direktur rumah sakit tersebut. Ia menyadari, jika langsung ke ruang administrasi, tidak mungkin ia bisa mendapatkan ruang vvip dengan 2 kasur pasien.

Benar saja, tidak butuh waktu 5 menit, Rifqi mendapatkan fasilitas terbaik di rumah sakit tersebut. Dan lagi, sepertinya Rifqi melupakan satu hal.

Sebenarnya ia bisa saja mendapatkan fasilitas tersebut tanpa kartu nama pamungkasnya. Karena, cukup dengan tanda tangan Arul saja, semua masalah di rumah sakit ini beres. Bagaimana tidak? 60% saham di rumah sakit ini di pegang oleh Arul.

Cinta tersenyum simpul menatap ayahnya yang seperti anak kecil menatap sayur. Jelas sekali raut wajah Arul menandakan ia tidak ingin makan. Tapi, siapa yang akan berani melawan Cinta kalau ia pun menyadari bahwa dia salah? Gadis itu akan melontarkan ucapan yang akan membuat siapa pun bertekuk lutut, bukan karena tersentuh. Melainkan karena takut.

"Ayolah, Yah. Tinggal 2 sendok lagi kok, selesai deh,"

Arul sejenak tersenyum lega mendengar ucapan itu. Cepat, ia habiskan makanan khas rumah sakit itu. Meskipun bisa dibilang, sedikit lebih istimewa.

"Tuh kan, habis juga. Sekarang minum obat," Cinta menyerakan beberapa pil dan kapsul ke tangan Arul dan segelas air mineral.

Mereka sama-sama terdiam menyaksikan acara TV. Lalu terdengar suara roda menggelinding. Benar saja, terlihat di sana, Elsa tengah didorong menggunakan kasur khas Rumah Sakit. Mata ibu Cinta itu masih terpejam.

Suster itu mengangguk hormat ke arah Arul setelah menyelesaikan semua tugasnya. Tidak lama kemudian, terlihat Rifqi dan Manda datang.

"Rif, lu bisa dorong kasur Elsa gak? Biar dia di samping gua,"

Rifqi menatap tidak percaya. Yang benar saja, kenapa tidak menyuruh perawat saja? Arul hanya nyengir, menampilkan ekspresi tanpa dosanya.

"Mau kemana? Kasurnya kan di sono," Arul mengernyit heran, menatap Rifqi yang malah hendak keluar.

"Mau manggil pengawal depan pintu aja, capek gua,"

"Lu masang pengawal?" Arul mendesis tidak suka.

How Are You, Hate? (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang