Chapter 19

54 15 0
                                    

Happy reading..

--__---__---__--
"Ra, temenin gue ke toko buku yuk. Novel gue udah pada abis semua," ujar Cinta sambil membereskan buku di atas meja.

Mata Khaira berbinar penuh minat. Namun tak lama mata itu berubah menjadi sinar bersalah, "Sorry Ta, gue punya janji hari ini. Besok aja gimana?"

"Janji? Tumben lo punya janji? Udah jadian ya lo?" goda Cinta dengan jantung berdegup kencang karena khawatir.

"Apaan sih lo," wajah Khaira sesaat bersemu merah, "gue cuma pergi ke cafe bareng Arnold kok."

Cinta mengangkat bahu, pura-pura cuek mendengar kata 'cuma' itu. Ia dapat merasakan jantungnya seakan ditusuk ribuan jarum. Sakit, "Cafe mana emangnya?"

"Cafe deket perbatasan kota. Kan baru buka, makanya gue excited pergi ke sana. Katanya makanannya enak banget lho,

"Oke, have fun ya? Biar gue nyari novel sendirian aja. Bye, Ra," Cinta berjalan sedikit tergesa keluar dari kelas. Namun, ia tidak langsung ke toko buku seperti ucapannya.

Arnold dan Khaira terlihat berjalan menuju parkiran. Mereka sesekali bercengkerama dan tertawa. Cinta dengan jantung berdebar mengikuti arah mobil mereka dengan sopir pribadinya. Ia tau, sangat tidak patut seorang Cinta Nabila Dinda menguntit orang seperti ini.

Sesekali dahi Cinta mengernyit heran. Jalan yang mereka lewatu ini jelas-jelas bukan arah menuju perbatasan kota. Tapi ke arah selatan kota yang merupakan stadion kota yang berada di atas bukit. Di sana setau Cinta tidak ada cafe yang baru di buka, karena baru minggu lalu ia mengunjungi tempat favoritnya itu.

Kedua orang yang Cinta ikuti terus berjalan ke arah taman stadion kota. Lagi-lagi Cinta mengernyit heran. Khaira telah membohonginya. Apa maksudnya semua ini?

10 meter dari tempat duduk Cinta. Arnold tengah mengacak-acak rambut Khaira, yang sepertinya merupakan hobi laki-laki itu akhir-akhir ini. Cinta tidak bisa mendengar percakapan yang tengah terjadi itu. Tapi, tanpa ia dengar pun, Cinta tau pasti. Mereka tengah berbahagia. Dibuktikan dengan senyum Arnold yang terukir. Juga dengan tawa Khaira yang lepas.

Lagi-lagi jantung Cinta seakan lepas, hancur atau apalah sebutannya untuk menggambarkan betapa terluka dirinya saat ini. Berkali Cinta menepis rasa yang semakin mengukungnya itu. Tapi justru perasaan itu menyeruak, melebar kemana-mana. Ia benci dengan perasaan ini. Perasaan yang membuatnya lemah.

Cubitan Khaira mampir ke lengan Arnold. Arnold yang pura-pura meringis kesakitan. Khaira yang terkekeh menyaksikan. Cinta yang meringis menahan perih. Apalagi ini? Cinta memutuskan untuk beranjak dari kursi penontonnya ini. Lelah menyaksikan drama kedua orang yang tengah merajut kebahagiaan. Salahkah ia mengambil kesimpulan sedemikian rupa?

Tiba-tiba Arnold memegang kedua lengan Khaira. Mengatakan beberapa patah kalimat. Khaira sontak terdiam mendengar kalimat Arnold. Namun hanya sepersekian detik, tawanya meledak dan langsung memeluk Arnold dengan erat. Tubuh Cinta seakan luluh lantak. Ia memejamkan kedua kelopak indranya tersebut. Dengan gerakan pelan karena takut Cinta kembali membukanya, memusatkan fikiran kepada emosi Arnold.

Secepat angin ia berlari menjauhi tempat itu. Detik itu juga Cinta memutuskan, ia tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di tempat terkutuk itu. Ya Tuhan, seberat inikah rasa sakit karna jatuh cinta? Ya, memangnya kenapa? Ia memang telah JATUH CINTA kepada orang yang ia benci. Sangat sangat ia benci. Tapi kenapa? Kenapa saat rasa yang memenuhi hatinya ia pahami. Detik itu juga takdir tidak mau bekerja sama dengannya.

Emoticon hati di emosi Arnold sempurna berwarna ungu. Menandakan pria itu sempurna memiliki seluruh emosi dalam hidupnya. Menunjukan bahwa lelaki itu sempurna membenci Cinta seumur hidupnya. Lalu apalagi sekarang? Apalagi arti rasa cinta yang tumbuh di hatinya sekarang? Apalagi artinya jika justru lelaki itu sudah benar-benar membenci dirinya. Apalagi artinya?

Cinta meminta kepada sopirnya agar pergi ke rumah sang nenek di pegunungan. Ia harus menetralkan hatinya saat ini.

Gadis itu mengurung diri di kamar, tanpa berusaha mengindahkan panggilan keluarganya yang sedang berada di rumah itu. Teriakan khawatir neneknya, sorakan pamannya, bahkan ia tidak mendengar suara bibinya. Ia sibuk mengurus serpihan kecil hati yang telah hancur itu. Ia sibuk berpikir bagaimana cara berdamai dengan batinnya itu. Mengapa sakit sekali rasanya? Ketika pilihannya justru memilih orang lain sebagai pilihannya.

Ia mencintai Arnold. Sangat mencintai pria itu bahkan jauh sebelum ia mengenal rasa benci. Ia mencintai Arnold, bahkan di antara kebencian yang harus ada di hatinya ia mencintai lelaki itu. Setulus yang tak pernah ia akui. Ia sangat mencintai pria itu. Tapi kenapa? Pria itu justru mencintai orang lain.

Tangis Cinta semakin pecah. Ya Tuhan, tak bisakan rasa sakit ini hilang? Ia lelah, ia lelah dengan semua rasa sakit ini. Gedoran pintu semakin keras. Panggilan khawatir sang bibi bahkan tidak ia sadari.

Satu jam penuh Cinta menangis, dimulai sejak ia di atas mobil. Bahkan jauh lebih lama daripada saat ia tau ibunya di operasi. Ini adalah rekor tangisnya terlama.

Sedikit menyeret langkahnya, ia berjalan ke arah pintu kamar yang ia kunci. Gadis itu menghapus air matanya. Berusaha tersenyum. Lalu ia membuka pintu perlahan, mendapati beberapa keluarganya tengah memandangnya penuh kekhawatiran.

Senyum Cinta semakin manis. Siapa bilang di saat seperti ini senyum dipaksakan yang keluar? Bahkan dengan sempurna Cinta tersenyum dengan manisya. Jika saja mereka tidak melihat mata cinta yang memerah. Maka, tidak ada yang tau hati itu tengah hancur lebur sekarang.

"Cinta, kamu gapapa, nak?" suara lembut bibinya yang pertama kali memecah keheningan tersebut.

"Gapapa kok, bi. Maaf ya, udah bikin kalian khawatir," Cinta memeluk lembut sang bibi.

"Beneran gapapa? Apa perlu paman minta ayah ibumu ke sini? Kamu udah ngasih kabar kan kalau bakal ke sini?" Paman merogoh sakunya, mengambil handphone.

"Gak usah, paman. Biar Cinta aja yang nelfon. Tadi buru-buru ke sini. Jadi lupa ngasih tau deh," Cinta nyengir. Melihat cengiran Cinta, paman dan bibinya tersenyum lega. Sepertinya gadis itu tidak apa-apa. Paling hanya bertengkar dengan teman sebayanya. Begitu pikir mereka.

Tapi, benarkah itu? Cinta tidak apa-apa? Tidak, Cinta bahkan kini sangat kenapa-kenapa. Lagi-lagi senyum palsu yang sempurna itu berhasil.

"Ya sudah kamu hampirin grandma sana. Dia khawatir banget kamu tiba-tiba datang udah nangis aja. Langsung ke kamar lagi," bibi merangkul keponakan kesayangannya itu ke arah ruang keluarga.

"Grandmaaaa," dengan histeris Cinta memeluk erat neneknya yang terkekeh sekarang. Cinta bersikap seolah ia memang menginginkan sebuah kebersamaan sekarang. Tapi, sungguh. Gadis itu sangat ingin sendirian, menangisi hal yang. Ah sudahlah. Ia tidak ingin mengingat sesuatu yang akan merusak senyum 'asli'nya.

"Kamu kok gak ngabarin mau datang ke sini Lieve? Nenek kan bisa bikinin cupcake kesukaan kamu," nenek mengelus lembut kepala Cinta dipangkuannya.

"Cinta kan mau bikin surprise buat grandma," Cinta semakin memperdalam pelukannya ke arah sang nenek. Kehangatan nenek membuatnya kembali ingin menangis. Setetes air mata jatuh, membasahi daster yang di pakai neneknya sekarang. Namun, cepat gadis itu mengusapnya.

"Grandmaa, Cinta mau tidur di sini selama beberapa hari, boleh? Cinta suntuk nih, di rumah. Ya?" Cinta mengerjap-ngerjapkan matanya, memohon.

Nenek Cinta terkekeh. Kemudian ia mengangguk pelan. Mengizinkan. Cinta bersorak kegirangan. Seakan ia memang bahagia. Oh Tuhan, betapa sempurna sandiwara yang diciptakan gadis itu.

Cinta kemudian meminta izin nenek dan pamannya ke kamar. Ia mau mengganti baju, alasannya. Mereka mengangguk mengizinkan. Dengan langkah yang seolah riang, Cinta berlari ke kamarnya dan adik-adiknya, jika biasa pergi ke rumah itu.

Sang nenek menghela nafas berat, "Kamu tau? Gadis itu tidak benar-benar bahagia sekarang. Sandiwara yang menyakitkan," ujarnya pelan sambil mengelus dasternya yang ditetesi air mata Cinta.

---____----___---

Please votment :v

How Are You, Hate? (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang