Chapter 3: Cucu

301 16 0
                                    



Aku berdiri di hadapan Rafa. Menunggu penjelasan.

"Jadi, kamu bisa jelaskan maksudmu tadi?" tanyaku geram.

"Kamu sengaja ngelakuin ini sama aku?"

Rafa diam dan memandangku datar.

"Kamu tahu kalo tante Mira akan datang ke sini?"

"Aku nggak tahu, La. Tiba-tiba saja ...," penjelasan dari Rafa terpotong oleh dering ponselku.

Aku meliriknya dengan ekor mataku sambil menjawab telepon yang masuk.

"Halo," mataku masih tidak berpindah dari matanya.

"...."

"Iya, hun. Aku ke sana sekarang. Tunggu sebentar, ya," kataku sambil mengakhiri panggilan.

"Aku harus pergi," kataku sambil berjalan mengabaikan Rafa yang berdiri di sana.

"Tapi, mama yang nyuruh aku nganter kamu pulang," Rafa sedikit berteriak.

Aku menoleh dan mendelik,"Anggap saja malam ini nggak pernah terjadi. Lupakan kata mamamu, karena aku pun akan begitu."

Aku menutup pintu dan berjalan dengan tegak meninggalkannya.

*_*

"La, dari mana aja lu?" Diane datang menghampiriku dengan keningnya yang berkerut.

"Ngurusin orang gila," Aku menggandeng tangan Diane menjauh dari lift yang kupakai turun tadi.

"Tadi katanya lu diseret-seret sama cowok ganteng,"

"hhhhh...ganteng dari puncak menara Eiffel! Tau ah, mau balik aja gue,"

"Tapi kan pestanya belum selesai, La. Stella!" Aku tidak menghiraukan panggilan Diane yang berubah menjadi omelan yang tidak jelas. Aku heran. Mamaku saja tidak pernah rempong-rempong mengurusi percintaanku. Walaupun sampai sekarang, aku masih menyandang gelar 'I'm single and very happy', mama dan papaku tampaknya biasa-biasa saja.

Dua puluh tujuh tahun kehidupanku, belum pernah sama sekali membahas tentang namanya perasaan cinta. Entah cinta pada sahabat, cinta pada uang, bahkan cinta pada sesuatu sekali pun. Datar. Perasaanku datar. Hitam putih. Ya dan tidak. Datar. Seperti jalan raya beraspal. Tidak pernah ada guncangan berarti dalam hati. Tapi, firasatku kali ini berbeda. Entahlah. Mungkin hanya firasat.

*_*

Pandanganku menelusuri setiap orang yang berada di dalam ruangan besar itu. Ah, itu dia! Mama dan papaku ada di sana. FYI, semua orang di kantor ini -kecuali Diane- tidak mengetahui bahwa manager HRD mereka adalah putri semata wayang dari pemilik perusahaan tersebut. Jadi, ketika semua orang melihatku berjalan menuju di mana orang tuaku berada, mereka hanya akan berpikir bahwa seorang Manajer bertemu dengan pemilik perusahaan.

Aku melangkahkan kakiku yang dihiasi dengan sepatu heels tinggi ini ke arah mereka. Namun, langkahku memelan karena pandangan yang tidak aku duga. Tante Mira dan Om Bagas yang sedang berbicara dengan mama dan papaku. Keterkejutanku tidka sampai situ saja. Wajah mama dan papaku yang terlihat ramah, berubah menjadi datar. Lebih datar lagi, ketika pandangan kami bertemu.

"Stella!" Mamaku memanggilku dengan pandangan super duper datarnya, sampai-sampai bisa mendatarkan hidungku yang mancung ini.

Aku berjalan dengan pelan menuju dua pasang orang tua itu berada.

"Kenapa kamu tidak bilang kepada mama dan papa?"

Aku mengerutkan keningku. Bilang apa??

Papa yang sepertinya tahu bahwa aku tidak mengerti dengan pernyataannya mulai angkat suara,

"Kenapa kamu harus melakukan hal itu?"

Kerutanku semakin dalam. Apa maksudnya ini??

"Mama tahu kalau kamu selalu bekerja keras untuk menyenangkan hati kami. Mama juga tahu, kamu mengorbankan waktu bermainmu dengan belajar dan mengurusi hal-hal yang seharusnya kamu tidak perlu kamu urus. Tapi, kami tidak menyangka kalau kamu akan mengejutkan kami seperti ini," Mama beranjak maju dan merangkulku. Aku mendengar sedikit isakan dari mama.

Papa yang melihat kami, mengelus pundak mama untuk menghentikan isakannya.

Oke, aku mengerti sekarang. Melihat Tante Mira dan Om Bagas yang sedari tadi melihat drama kami, aku akhirnya mengerti pembicaraan ini. Pasti ini masalah yang tadi. Akhirnya aku memutuskan untuk jujur.

"Ma, Pa, Stella minta maaf kalau sudah mengecewakan mama dan papa," kataku sambil melepaskan pelukan dari mama. Mama yang masih terisak pelan, mulai tersenyum.

"Jadi, sudah berapa bulan?" mama tersenyum lebar dan mengelus pipiku lembut.

Hah? Apanya yang berapa bulan? Aku menyembunyikan hubunganku? Atau, aku dipikir bermalas-malasan? Atau, aku dipikir menggunakan uang perusahaan? Atau, mereka tahu kesepakatanku dengan Fano?

Berapa bulan apanyaaaaaa??????

"Itu...," aku terbata. Bingung harus menjawab apa. Pertanyaannya pun aku tidak mengerti.

"Sudah berapa lama cucu mama dan papa ada di sana?" papa yang tadinya diam, mulai bersuara kembali.

"Sudah Stella, jujur saja sama mama dan papamu. Mereka bahagia kok. Sama seperti kami juga bahagia," Aku mendengar suara om Bagas yang menepuk pundakku seperti member kekuatan.

Aku menatap kea rah papa dan mama bergantian.

Wait!

Apa yang tadi mereka sebutkan? Cucu? Cucu dari mana? Apa Stefano sudah menghamili Rebecca? Damn that boy!

"Aku belum tahu, ma," kataku sambil menahan amarahku. Ini pasti kerjaan Fano. Awas, ya, Fan! Gue beneran buat perhitungan sama..

"Kalau begitu besok kita cek ya, nak. Besok kamu nggak usah kerja dulu. Cuti dulu. Nanti mama sama Tante Mira nemenin kamu cek di dokter kandungan kenalan Tante Mira," Mama merangkul tanganku.

"Tapi jangan lupa kasih tau, Rafa, ya sayang,"

Mama yang sudah mulai berjalan dengan menggandengku tiba-tiba kuhentikan.

"Wait. Ma, Pa, aku nggak ngerti pembicaraan ini kemana arahnya,"

"Maksud mama dan papa apa sih? Cucu siapa? Apa Fano udah keduluan sama Becca? Atau apa sih? Kok aku semakin nggak ngerti arahnya," keluar sudah pikiranku dari sarangnya.

"Sayang, kamu tenang dulu, ya. Mama tahu kamu panic. Kamu takut mama dan papa marah sama kamu," Mama mengambil alih lagi, mendekat dan meletakkan telapak tangannya di atas perutku yang datar.

"Mama dan papa sayang sama kamu. Mama hanya kaget, karena akhirnya kami mendapatkan cucu dari kamu. Mama sempat berpikir kalau kamu tidak pernah ingin menikah dan punya anak. Tapi, mendengar kabar kalo cucu mama sudah ada di sini, mama senang sekali,"

Penjelasan mama yang panjang lebar membuat mata bulatku menjadi lebih bulat lagi. Akhirnya aku tahu apa maksud pembicaraan tadi.

Aku menatap menuh arti ke arah tante Mira dan om Bagas. Mereka hanya tersenyum.

"Ma, ini nggak seperti yang mama pikirkan. Aku belum pernah...," kalimatku tergantung di sana. Aku bahkan menganggap pembicaraan tentang hal 'itu' dengan orang tua adalah hal yang memalukan. Apalagi aku, yang belum pernah "ngapa-ngapain" selama pacaran. Jangankan melakukan hal yang tidak-tidak, semua kontak skinship pun hanya sebatas formalitas belaka.

"Tante tau. Kamu belum pernah periksa kan, sayang. Kamu mau Rafa aja yang temenin kamu periksa?"

Jleb!

Aku memandang tante Mira dan mama bergantian. Mereka sedang melempar pandang dan terkikik seperti remaja yang sedang menggoda temannya.

Ada yang punya jubahnya Harry Potter? Pengen ngilang sekarang juga!!!!!!

Terima kasih sudah membaca ^3^

Silahkan tinggalkan jejak, ya.. <3

Dear, Stella!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang