Chapter 8: Truth

210 13 0
                                    

Halohaaa...~~~

Akikah datang kembali

Nggak mo berpanjang lebar, selamat membaca dan selamat menikmati~~~

"I miss you, Stella," Dion memelukku dari belakang. Tubuhku bahkan lidahku kaku. Aku tidak tahu harus merespon seperti apa.

Dion membalikkan tubuhku dan mengangkat daguku. Mensejajarkan pandangan kami berdua.

"Don't you miss me, darl?" mata abu-abunya yang meneduhkan seakan menarikku kembali ingin merasakan sentuhannya. Namun, tidak!

Aku menepis tangannya dan menjauhi dia. Aku meletakkan tasku di atas meja dan berjalan menuju kursi kebesaranku.

Aku menghindari sofa yang ada di ruanganku karena aku takut terjadi hal yang seharusnya tidak terjadi.

"Ada perlu apa anda masuk ruangan saya?" nada sinisku tidak bisa kututupi.

"Aku merindukanku, Lala," Dion mendekati mejaku dan mencoba meraih tanganku perlahan.

Aku mundur selangkah menjauh darinya.

"Stella. Namaku Stella. Tidak ada Lala di sini. Dan, maaf tuan, jika anda ingin bertemu saya, anda dapat menghubungi sekretaris saya untuk membuat jadwal. Sekarang tolong keluar karena saya banyak pekerjaan," capek. Dalam satu nafas aku mencoba untuk tegar. Mencoba untuk tidak berlari ke pelukannya dan mengatakan bahwa aku merindukannya.

Dion menundukkan kepalanya dan meremas rambutnya dengan kasar.

"Aku merindukanmu, La. Kenapa kau menghindar dariku selama ini?" Aku bisa melihat wajah frustasinya. Aku masih berdiri di tempatku. Tidak bergeming sedikitpun.

"Kenapa kau tiba-tiba memilih untuk pergi hari itu?"

"Maaf, tuan. Sudah saya katakan saya banyak pekerjaan, saya..,"

Brakkk..

Dion memukul meja di hadapanku dengan kepalan tangannya. Aku terkejut setengah mati. Belum pernah aku melihat Dion semarah ini. Mukaku memanas antara takut dan marah.

"Keluar sekarang juga," desisku tajam. Setajam tatapanku melihatnya.

"NO! Kamu yang harus jelaskan kenapa kamu pergi di hari itu?"

"Tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku pergi karena aku ingin pergi. Lagi pula, kita sudah tidak memiliki hubungan apa-apa, tuan,"

"La, please," Dion akhirnya meraih tanganku. Aku mendiamkannya. "Aku butuh penjelasan kamu. Aku berjanji aku akan pergi dari sini setelah mendengar penjelasan kamu," nadanya memohon dengan lirih.

Aku menatapnya. Matanya yang sayu seolah menceritakan kesedihan. Entah kesedihan karena apa, aku pun tak mau menebak.

"Pegang janjimu, karena setelah ini aku berharap kau benar-benar pergi dari sini dan kehidupanku,"

Dion menghela nafas lelah dan meluruh di hadapanku. Pria yang pernah penuh dengan kharisma dan ketegasan menghilang entah ke mana. Di hadapanku, hanya ada seorang pria lemah tak berdaya.

Aku menghela nafas, kemudian aku mulai menceritakan semuanya. Aku tidak ingin memendam atau menyembunyikan apa pun. AKu menghargai keputusanku untuk menerima perjodohan dari mom dan dad, jadi aku akan mengeluarkan semuanya.

Flash back

3 tahun yang lalu...

Aku baru saja menyelesaikan sidang tesisku dan akhirnya aku dinyatakan lulus. Daun berguguran di sepanjang jalan menuju apartemenku membuat hariku terasa lebih indah. Apalagi saat berjalan dengan orang yang sangat kukasihi. Dion. Pria keturunan Jerman-Indonesia ini adalah orang pertama yang membantuku bahkan selalu ada di saat aku butuhkan.

Dear, Stella!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang