Langsung cuss ajaa
Happy reading :) :)
Seorang pria melambaikan tangan kepadaku dari balik kaca. Aku berjalan dengan santai dan menghampirinya di sana.
"Duh, susah banget ketemu sama ibu bos satu ini," kata pria sambil memelukku erat.
"Udah, Bei," kataku melepaskan pelukannya. "Malu tahu," kuhempaskan pantatku ke atas kursi di hadapannya.
"La, kamu nggak ada niat balik lagi ke Jakarta?" Bei membuka percakapan kami di sore hari yang sejuk itu.
"Nggak," jawabku singkat. Toh, aku memang tidak ada niat untuk kembali. Aku sudah tidak punya urusan lagi di sana.
"Kamu mau tinggal di sini seterusnya?"
"Kenapa memangnya?" Aku mengambil buku menu dan membalik-balikkannya. Melihat-lihat menu apa yang enak untuk di makan.
"Kamu nggak mau tahu tentang Rafa?"
Deg! Nama itu lagi. Sudah hampir setahun ini tidak ada lagi yang menyebutkan nama itu. Bahkan, pertemuanku dan Bei selama beberapa bulan terakhir ini pun tidak ada pembahasan yang menyentil ke arah mantan calon suamiku itu.
Aku melihatnya dengan tatapan tajam.
"Apa aku terlihat punya waktu untuk memikirkan dia?" Tanyaku ketus.Bei menggaruk kepalanya yang aku tahu tidak gatal itu. Dia hanya berdehem sebentar.
Seorang pelayan datang dan mencatat pesanan kami. Keheningan muncul di antara kami. Aku sibuk dengan ponselku, mengurus kerja sama ini itu dengan para investor dan klien. Sedangkan Bei, memilih untuk menatapku beberapa lama."La, apakah aku punya kesempatan?" Pertanyaan Bei menghentikan gerakan jariku.
"Tidak," jawabku tegas. "Nggak akan ada kesempatan untuk siapa pun lagi. Aku nggak mau tersakiti atau menyakiti. Jadi, lebih baik seperti ini," kataku tegas dan jelas. Aku tidak mau memberikan harapan palsu. Lebih baik begitu kan? Sakit sekarang daripada nanti.
Aku mendengar Bei menghela napas pelan. Aku meletakkan ponselku, kemudian tangan kananku meraih tangannya yang terkepal di atas meja.
"Bei, kamu itu pantas untuk dapat yang terbaik. As your friend, aku berharap kalo kamu bahagia. As someone who knows you better, aku tahu aku bukan orang yang tepat untuk membuat kamu bahagia,""Dari mana kamu bisa seyakin itu?"
"Karena aku nyaman dengan kehadiranmu sebagai seorang sahabat. Yang kalau bergeser lebih jauh atau lebih dekat dari posisi itu, aku nggak yakin kenyamanan itu akan bertahan. Mungkin akhirnya kita bisa saling menyakiti,"
"Tapi, aku nggak bohong kalo aku membutuhkan kamu sekarang. Sebagai sahabat yang jadi tameng hidupku. Ga papa kan?" Senyum manis kutambahkan sebagai penutup penjelasanku.Bei hanya membalas senyumanku dengan anggukan kecil.
"Kalo orang tua kita menjodohkan kita, gimana pendapatmu?"Aku terdiam.
"Let's not talk about that, okay,"Pesanan kami pun datang. Kami menghabiskan waktu dengan berbincang tentang kegiatannya dan kegiatanku selama seminggu ini.
Bei selalu mengunjungiku setiap akhir pekan. Padahal sudah kukatakan untuk tidak sering menjengukku. Kangen katanya. Padahal, dia tahu bahwa aku sangat sibuk dengan jadwalku selama seminggu, tapi toh entah dari mana dia mampu menghubungi sekretarisku untuk membuat jadwal setiap minggu bersamanya.
Seperti sekarang, setelah makan, kami berada di dalam apartemenku. Siang ini aku menyisipkan agenda untuk rapat dengan kadiv lewat skype. Dan itu membuat Bei cemberut seharian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Stella!
Chick-LitPernah nggak kalian ngebayangin seorang cewek independen - banget- harus bergumul dengan masalah percintaan?? Apalagi dilema antara masa lalu dan masa depannya. Gimana cara dia memilih?? *note: no cast. Just find yourself in this story. Which one ar...