Di sana ia terbaring lemah. Selang-selang yang tidak dibutuhkan sudah dilepas. Bahkan ECGnya sudah dipindahkan. Rafa terlihat berbincang ringan dengan orang tuanya.
"Hai," aku berjalan mendekat.
"Hai," Rafa menjawab sekilas dan menatapku sedikit lama.
"Bagaimana perasaanmu?"
Rafa diam. "Haruskah saya menjawab pertanyaan anda?" Pertanyaannya menohok hatiku. Ada sedikit rasa nyeri di dada saat kalimatnya terucap.
"Aku Stella, anak dari sahabat papamu," jelasku dengan singkat.
"Pa, apakah papa menjodohkanku lagi?" tanya Rafa dengan nada tak percaya.
"Ah, bukan, bukan. Kita tidak dijodohkan," selaku. "Aku hanya kebetulan di rumah sakit ini dan melihat om Bagas ada di sini."
Tiba-tiba Bei masuk dan langsung merangkulku di pinggang. Aku sedikit kaget dengan kehadirannya, tapi sudahlah, dia melakukannya untuk menguatkanku.
Rafa mengerutkan kening.
"Ini kekasihmu?" Tanyanya pelan."Brandon, kekasih Stella," Aku melihatnya dengan tatapan tidak percaya. Bei kemudian mengulurkan tangan, namun tidak ditanggapi oleh Rafa.
Rafa mulai memijit keningnya perlahan. "Sepertinya saya butuh istirahat, jika tidak ada yang perlu dibicarakan, kalian bisa pergi," katanya sambil membaringkan badan dan menutup matanya.
Tante Mira membantu untuk merapikan selimutnya."Terima kasih sudah mau datang menjenguk. Tapi sebaiknya kalian tidak perlu datang lagi," kata-kata Rafa sempat membuatku berhenti sejenak dan melanjutkan langkahku melewati pintu keluar kamar ini.
----
Di dalam perjalanan pulang, tidak ada yang bersuara. Baik Bei maupun aku. Kami berdua tinggal dalam keheningan sampai mobil Bei berhenti di parkiran apartemenku.
"Soal tadi.."
"Nggak apa, Bei. Apa yang kamu bilang tadi bener kok. Malah aneh kalo aku datang sendiri, trus ngenalin diri, trus..ah pokoknya thanks lah," kataku yang sudah tidak mau berpikir dan mencari alasan lagi.
"Tapi La, bolehkah kita tetap seperti itu?"
"Seperti apa?"
"Seperti tadi pengakuanku,"
Aku diam sejenak.
"Bei, kita bicarakan besok aja ya. Aku udah nggak bisa mikir, aku capek," kataku dengan lemah.
Bei melepas seatbeltnya dan menarikku ke dalam pelukannya.
"Istirahatlah. Besok aku datang, ya," dia mengecup puncak kepalaku sekilas, aku mengangguk dan melepaskan pelukan kami.
Bei membuka pintu untukku dan mengantarkanku sampai di lift yang berada di parkiran.
Sesampainya di apartemenku, aku tidak repot-repot untuk menyalakan lampu. Aku langsung berjalan menuju kamarku tanpa melihat apa pun. Aku sudah hafal seluk beluk apartemenku sendiri.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur empuk, yang sekarang terasa sesak. Dingin. Aku merasa dingin. Padahal aku belum menyalakan pendingin kamarku.
Aku menarik selimut menutup sampai di ujung kepalaku.
Ah, aku ingin tidur. Aku butuh tidur.--
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Menerima rangsangan cahaya yang mengenai kelopak mataku.
Aku akan bangun, namun aku merasakan sesuatu ada di dahiku.
Sebuah handuk kecil yang sudah hampir kering.
Apakah aku demam?
Sebuah tangan melingkar di perutku.
Aku menoleh ke bawah dan menemukan Bei tertidur sambil melingkarkan tangannya di atas perutku. Sedangkan tangan satunya menumpu kepalanya yang ada di sampingku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Stella!
ЧиклитPernah nggak kalian ngebayangin seorang cewek independen - banget- harus bergumul dengan masalah percintaan?? Apalagi dilema antara masa lalu dan masa depannya. Gimana cara dia memilih?? *note: no cast. Just find yourself in this story. Which one ar...