Chapter 18: Menanti

106 4 0
                                    

Halohaaa~~~~

Yup yup

Tumben kaannnn udah diupload siang terik panas gini..Soalnya mataharinya membakar otak adek, bang :D :D jadi langsung cusss

#gaje #abaikansaja

Happy reading all..


Derap langkah dua orang itu memenuhi ruangan rumah sakit. Si wanita dengan panik bertanya kepada seorang perawat letak ruang operasi di rumah sakit itu.

Setelah tergesa-gesa menuju sesuai arah yang ditunjukkan, wanita itu pun langsung luruh dengan air mata yang tak terbendung lagi. Pria di sampingnya memeluknya dan memapahnya menuju kursi terdekat. Isak tangisnya cukup mengganggu pendengaran beberapa orang di tempat itu.

Seorang wanita berjalan dengan tenang ke arah wanita yang sedang menangis itu. Mengambil tempat duduk di sampingnya. Mengulurkan tangan untuk menggenggam kerapuhan wanita itu agar tidak hancur berkeping.

"Rafa sudah dapat penanganan yang tepat, tante. Lebih baik kita berdoa yang terbaik yang akan terjadi," kata Stella itu dengan lembut.

Wanita itu menangis dengan lebih keras lagi. Stella membawa calon mama mertuanya itu ke dalam pelukan. Berharap agar dia dapat menyalurkan kekuatan untuk wanita yang telah melahirkan Rafa ke dunia.

"Om, saya titip tante dulu, ya," kata Stella sambil bangkit berdiri meninggalkan kedua orang tua Rafa dan kedua orang tuanya di depan ruang tunggu operasi.

"Saya mau ke kafetaria sebentar. Ada yang mau dipesan?" tanyanya kepada setiap orang di situ satu persatu.

"Aku antar, La," Brandon mengikuti langkahnya menuju ke kafetaria. Stella hanya menganggukan kepala dan berjalan terlebih dahulu.

Brandon mengernyit ketika Stella berjalan menuju ke arah tangga darurat. Sebelum langkahnya dapat mencegat wanita itu, Stella sudah terlebih dulu masuk dan berjalan menuruni tangga. Tanpa banyak bicara, langkah Brandon semakin cepat dan berhasil menangkap pergelangan tangan wanita itu.

"La, lu nggak apa-apa?" Brandon menatapnya dengan wajah yang cemas.

Stella menjawabnya dengan pandangan datar tanpa ekspresi. "Gue nggak papa," kalimat yang keluar dari bibirnya setelah semenit berdiam diri.

Brandon tahu, dia tidak baik-baik saja. Brandon tahu sahabatnya itu merasakan sesuatu.

Dengan satu tarikan lembut, Brandon membawa Stella dalam dekapannya dan mengelus puncak kepala wanita mungil itu. Satu kecupan lembut mendarat diujung kepalanya. Brandon merasakan pelukannya terbalaskan, namun dengan sedikit remasan pada belakangnya. Saat itu Brandon tahu, wanitanya itu sudah berubah. Dia tahu, mungkin saja hatinya sudah tidak untuk dirinya lagi. Namun, dia tahu, dia akan selalu menjadi rumah bagi wanitanya, walaupun dia mungkin tidak dapat memiliki seutuhnya.

Beberapa saat dengan posisi seperti itu, Stella akhirnya melepaskan dirinya dan merapikan bajunya.

"Ehm, gue baik-baik aja, Bei," katanya sambil merapikan lagi rambutnya kusut.

"La, kamu harus tahu, aku akan ada selalu di sini buat kamu. I'm your home, right?" Brandon memegang kedua pipi wanita itu dan menatap ke dalam maniknya.

Yang ditanya hanya menyunggingkan senyum terpaksa. Dan mengangguk, memperkuat jawabannya.

Mereka berdua pun berjalan menuruni tangga dan menuju ke kafetaria yang berada di lantai dasar.

=====

Lima jam kemudian, lampu operasi pun redup. Pertanda operasi yang dilakukan di dalam ruangan telah selesai. Seorang dokter dan dua orang perawat yang menggunakan setelan hijau keluar dari ruangan. Semua orang yang ada di ruang tunggu langsung berdiri dan menyambut kedatangan mereka.

Dear, Stella!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang