Ting
Pintu lift terbuka. Pria itu masih menggenggam pergelangan tanganku.
"Sakit" cicitku.
Namun, dia tidak menghiraukannya.
Tiba tiba kepalaku terbentur sesuatu yang keras.
"Aww,"
"Ckck, bisa-bisanya kamu ngelamun sambil jalan," dia menggelengkan kepalanya sambil membuka sebuah pintu kamar.
"Lah, situ sendiri yang berhenti tiba-tiba" jawabku tak mau kalah.
Aku diajak masuk ke dalam ruangan itu yang kemudian kuketahui bahwa ruangan itu adalah sebuah kamar yang berjenis suite.
"So?" Kataku memecah keheningan. Dia sudah melepaskan pergelangan tanganku sejak tadi, namun masih terasa sedikit perih.
"So?" Dia mengulangi kataku.
"Jadi, apa tujuan anda membawa saya ke kamar ini tuan?"
"Rafael, panggil saja Rafa," katanya sambil mendekatiku.
"Saya tidak bertanya nama anda," jawabku santai sambil maju mendekati dia.
Percayalah. Aku bukan wanita polos yang penakut. Jika ada yang menantangku, sekalipun itu di kamar, aku tidak akan mundur. Apalagi yang ku tahu, pria ini hanya menggertakku. Cih.
Benar kan? Ketika aku berjalan maju mendekatinya, air wajahnya terlihat was was bahkan mundur beberapa langkah dengan pelan.
"Mau apa anda mengajak saya ke sini?"
"Aku tertarik denganmu. Bolehkah malam ini..."
Dia menghentikan kalimatnya. Aku menunggu dengan sabar.
"Kenapa dengan malam ini?"
"Kau tau. Itu.."
"Tau apa?" Pancingku. Dan lihat sekarang. Mukanya sudah merah padam. Hei, bukankah seharusnya wanita yang menunjukkan rona merah itu pada saat seperti ini. Tapi, mengapa harus dia?? Si pria??
"Itu...yang dilakukan oleh pria dan wanita di kamar," dia berkata dengan terbata-bata.
Aku menghentikan langkahku seketika. Aku terpaku dengan kalimatnya. Bukan. Bukan karena aku tidak tahu apa yang dia maksud. Namun cara bicaranya. Membuatku terperangah.
"Really?" Aku melangkahkan kakiku yang sudah sangat dekat dengan dia.
"Really?" Tanyaku sekali lagi.
"Bagaimana kalau kita akan melakukannya, jika anda gugup seperti itu?" Sindirku.
"Saya yakin, anda adalah orang yang berpengalaman dalam urusan ini. Namun, kenapa anda gugup?"
Aku tertawa miring dan berjalan menjauhinya. Tiba-tiba dia memelukku dari belakang.
"Karena yang berhadapan denganku sekarang adalah kamu, Stella," bisiknya di telingaku yang membuat aku bergidik.
Kau mau bermain? Oke! Akan kuladeni.
"Memangnya aku kenapa?"
"Kamu adalah satu satunya wanita yang menggangguku setiap malam, setelah kejadian di kafe itu. Aku mencarimu ke mana-mana. Aku bahkan menyewa orang untuk mencarimu, namun kau hilang seperti ditelan bumi,"
Aku mengerutkan keningku. Kejadian di kafe?
"Hmm..mungkin anda salah orang, tuan. Saya tidak pernah ke kafe," jawabku. Seingatku aku tidak pernah ke kafe.
"Tidak. Aku tidak salah orang. Aku masih ingat senyumanmu dengan gigi kelincimu itu. Aku langsung jatuh cinta,"
Aku tertawa. "Apakah sakit?" Tanyaku di sela sela tawa.
"Apa maksudmu?"
"Kau bilang kau 'jatuh' cinta. Apakah jatuh itu sakit?"
Dia membalikkan badanku dengan sedikit kasar. Dia memaksaku untuk menerawang matanya yang hitam pekat itu.
"Look at me, Stella. Aku sakit, jatuh cinta itu sakit. Sesakit aku memikirkanmu setiap malam, mencarimu ke mana-mana," tangannya sudah meremas kedua lenganku. Terasa sakit, namun aku tahan.
Tiba-tiba saja dia membuangku ke atas tempat tidur dan merangkak di atasku.
Aku panik. Ya! Pasti! Namun aku tidak bisa berteriak. Aku hanya berbaring dengan tenang melihat apa yang akan dilakukannyaa.
Matanya mulai menggelap. Aku benar benar bisa melihat gairah yang besar di sana. Nafsu yang memuncak. Dengan satu hentakan, dia mendaratkan bibirnya di atas bibirku. Aku tidak menolak. Aku tidak memberontak. Namun, aku juga tidak terlena. Aku hanya diam. Mengontrol tubuhku agar tidak menikmati apa yang dilakukannya.
Saat tangannya sudah mulai bermain diatas perutku, aku berusaha menahannya. Dan suara itu pun menggema,
"Rafa, apa yang kamu lakukan?"
Rafa langsung menghentikan kegiatannya dan menoleh ke sumber suara itu. Aku pun ikut melihat sumber suara itu.
"Mama?"
"Tante Mira?"
Kami mengucapkan bersamaan yang akhirnya menatap bergantian.
Rafa berdiri dan mengulurkan tangannya membantuku untuk berdiri.
Kami berdua berdiri tak berkutik.
"Ma," suara bass dari belakangnya mengagetkan kami.
"Papa?"
"Om Bagas?" Sekali lagi kami mengucapkan bersama.
Kami saling memandangi sambil mengerutkan dahi.
"Rafa, apa yang kamu lakukan sama Stella?"
"Mama kenal Stella?"
"Ma, apa yang terjadi?" Om Bagas menenangkan istrinya.
"Ma, Pa, Rafa bisa jelasin kok,"
"Iya, tante, om, Stella bisa jelasin kok,"
"Ck, dasar anak muda! Cuma bisa main belakang! Mama nggak mau tahu, kamu harus bertanggung jawab Rafa.Gimana kalau kalian menikah saja?"
Eh, apa dia bilang? Aku harus menikah. NO!!!
"Tante, Stella bisa jelasin kok,"
Suara Tante Mira melembut. "Tolong buat cucu sebanyak-banyaknya dan secepatnya ya, sayang," katanya sambil mengelus rambutku.
WHATTTTTTT????
Aku membulatkan mataku menuntut penjelasan dari Rafa.
"Ya sudah, kalian bisa lanjutkan nanti kalo sudah menikah. Rafa, sekarang antar Stella pulang ke rumahnya," kata Om Bagas sambil meninggalkan kami.
"Jangan bawa ke apartemennya, ya. Mama memang mau punya cucu cepat-cepat, tapi setelah kalian nikah,"
Begitulah malamku diakhiri dengan godaan dari om bagas dan tante mira. Aku melirik ke arah rafa yang akhirnya senyum senyum sendiri. 'Oh Tuhan, apalagi ini????'
Terima kasihh sudah membaca ^3^
Silahkan tinggalkan jejak, readers... <3
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Stella!
ChickLitPernah nggak kalian ngebayangin seorang cewek independen - banget- harus bergumul dengan masalah percintaan?? Apalagi dilema antara masa lalu dan masa depannya. Gimana cara dia memilih?? *note: no cast. Just find yourself in this story. Which one ar...