Chapter 30: Bertemu

73 5 0
                                    

Happy Reading :)))

.

.

.

.

.

Makan malam kali ini cukup ramai dibawa suasana yang santai. Kedua orang tuaku dan Fano serta kedua orang tua Bei mengadakan makan malam bersama. Suasana yang kurindukan selama ini.

"I'm glad to see you laugh again, La," kata Bei sambil menggenggam tanganku dibawah meja. Pandangannya yang teduh menenangkan hatiku. Ku balas genggamannya dan menampilkan senyum tulusku.

"Ehm,"

Kami tidak sadar ternyata semua yang ada di meja ini sudah memandang kami. Tampak Fano sudah menahan tawanya.

"Kami senang akhirnya kamu senang lagi, La. Selama ini Bei selalu mencemaskanmu. Pulang dari kantornya, yang dia sibukkan adalah ponselnya. Kalo ditanya pasti jawabannya 'mau ngecek Lala, Ma,'" jelas mama Bei yang sudah melipat napkin-nya dan meletakkan di atas meja.

"Jadi, malam ini sebenarnya ada yang ingin kami bicarakan tentang kalian," Papa Bei membuka suara. Ku lihat daddy menatapku dan Bei bergantian.

"Begini," Papa Bei menegakkan punggungnya dan menatapku dengan lekat.

"Bei adalah satu-satunya anak kami. Putra tunggal kami dan sekaligus penerus perusahaan tunggal yang kami dirikan. Sejak mudanya, Bei tidak pernah sekalipun tidak serius dengan apa yang dilakukannya. Walaupun dia anak satu-satunya, namun sejak kecil dia tidak pernah merengek untuk dimanjakan dan diperhatikan lebih. Semua miliknya sekarang ini adalah hasil kerjanya dari semasa dia SMA. Dia sangat serius dan bekerja keras sampai-sampai dia tidak peka bahwa orang tuanya sudah tidak sabar menggendong cucu-cucu yang lucu," beliau berenti sejenak dan membiarkan kami tertawa pelan menanggapi ceritanya.

"Kami menyadari bahwa nak Stella baru-baru saja mengalami hal yang tidak mengenakkan terkait dengan perjodohan. Maka dari itu, rencana awal kami yang ingin menjodohkan nak Stella dengan Bei kami tangguhkan,"

Aku menyimak dengan baik, tanpa merubah ekspresiku. Namun ketika kulirik Bei, kurasakan ketegangan yang tinggi. Raut mukanya sudah berubah, bahkan wajahnya dapat terlihat memerah dalam keremangan cahaya restoran ini.

"Pa," suara teguran Bei membuatku cepat-cepat meremas tangannya yang masih dalam genggaman. Dan memberikan senyum kecil padanya. Kemudian dia menutup mata sejenak dan menghela nafas pelan.

"Sebentar Bei," kata mamanya. "Kami memang menangguhkan rencana awal kami untuk menjodohkan kalian berdua. Itu semua karena kami ingin kalian sendiri yang memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius atau tidak. Karena kami memang sudah memberikan restu di awal."

Kami berdua saling berpandangan dan seketika Bei langsung tersenyum penuh arti.

"Kami siap menikah, ma,"

"Stella?"

Aku langsung menatap keluargaku bergantian. Mereka ingin aku bahagia kan? Walaupun aku berpura-pura, tidak akan ketahuan kan? Cinta akan datang karena terbiasa kan? Karena kalau tidak, aku tidak akan mengambil resiko sebesar ini sekarang.

"Iya, ma,"

Mendengar jawabanku semuanya langsung berpelukan. Mommy langsung memeluk Fano kemudian Mama Bei bergantian. Sedangkan Daddy dan Papa Bei saling berjabat tangan dan merangkul sambil melemparkan senyum.

Akhirnya malam itu berakhir dengan keputusan bahwa akan diadakan lamaran resmi di rumahku minggu depan.

Sepanjang malam Bei menatapku dan tersenyum tak henti. Aku hanya berharap wajahnya tidak akan kram keesokkan hari. Karena dia begitu semangat untuk tersenyum sepanjang malam.

*_*

Seminggu ini aku sudah berada kembali di Ibukota negara tercinta. Jakarta. Suasananya sama sekali tidak ada yang berubah, tidak juga begitu banyak perubahan pada penduduknya yang baru setahun lalu kutinggalkan.

Rencana keluarga Bei yang harusnya datang malam ini harus tertunda menjadi besok malam karena ternyata Fano sedang berada di luar kota. Dia baru akan kembali malam ini.

Jadilah aku mengisi waktu luangku dengan mengelilingi toko buku yang ada di salah satu mall terbesar di Jakarta. Mataku melihat-lihat beberapa judul buku resep kue. Rencananya aku akan membeli beberapa bahan dalam perjalanan pulang dan aku langsung akan mencoba resep itu di rumah.

Namun, mataku berhenti dan beralih pada bayangan yang ada di sampingku. Ku lihat Rafa sedang berdiri di sana sambil menatapku dengan pandangan kosong.

"Oh, hai," sapaku dengan ramah. Aku mencoba biasa di saat jantungku sudah mulai bedetak dengan cepat.

"Ngapain kamu di sini?" tanyanya tidak suka. Aku mengernyit mengartikan pertanyaannya.

"Mau cari buku," jawabku ringan.

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan. Bukan itu yang aku maksud. Ngapain kamu di Jakarta?"

Lah, suka-suka gue dong. Ngapain lu rese sih? Duh, untung cinta, kalo nggak, kamu bakal hilang.

"Emangnya kenapa?" tanyakku balik.

"Kamu nggak ada kepentingan di sini, jadi ngapain kamu balik ke sini?"

"Aku ada kepentingan di sini, jadi apa yang anda inginkan tuan Rafa?" tanyaku balik.

"Apa kepentinganmu di sini nona Stella?"

"Apa hak anda untuk mengurusi saya tuan Rafa?" baiklah. Aku mulai tidak suka dengan keadaan yang menegang seperti ini.

"Karena aku calon suamimu nona Stella!" katanya dengan geraman yang tertahan. "Jangan pikir kalau aku tidak tahu rencana pernikahanmu dengan Brandon," tangannya mulai menyentak tanganku hingga buku yang kubawa jatuh.

Aku memandangnya dengan tenang. "Calon suami katamu?" aku tertawa pelan. "Calon suamiku sudah mati. Raganya bangun tapi pikirannya tidak mengenalku,"

"Lagipula, orang yang mirip dengan calon suamiku itu sudah memiliki kekasih, eh?" kataku dengan nada menyindir.

"Aku tahu kalau kamu sudah tahu kebenarannya, La," nada bicaranya melembut, begitu pula cengkraman tangannya di pergelanganku.

"Ya, aku memang sudah tahu kebenarannya. Tapi, apa yang dapat membedakannya ketika sahabatku sendiri adalah kekasihmu?"

"Itu semua hanya pura-pura, La. Aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan Sandra," jelasnya.

"Lalu apa hubungannya denganku?" bentakku.

"Kamu...," belum Rafa menyelesaikan kalimatnya, sudah ku potong terlebih dahulu,"kau pikir aku wanita gampangan? Yang dengan seenaknya kau bohongi dengan segala kepura-puraanmu?"

"Jangan-jangan perasaanmu selama ini juga pura-pura," aku berlalu meninggalkan dia sendirian di keramaian toko buku tersebut.

*_*

Sepanjang perjalanan pulang, aku kalut. Aku marah padanya. Pada Rafa yang tega-teganya berbohong lagi. Tapi di satu sisi, aku rindu. Aku rindu dia. Dan di sisi lain, aku tidak bisa mundur dari keputusanku. Huft. Bagaimana ini????

Dear, Stella!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang