Chapter 20: Forgotten

113 11 3
                                    

Yeay....double update

Chapter ini didedikasikan untuk @FebbyFebriani9 yang menyemangati aku untuk mengupdate chapter ini secepatnya :* :*

Mumpung masih fresh from the brain, jadi monggo silahkan dinikmati

*BTW, aku sangat berterimakasih sekali buat para readers yang masih mau membaca cerita ini, walaupun absurb, tapi mudah-mudahan bisa menghibur :) :)

Happy reading <3

Pertama kali dalam jejak karirku, aku memutuskan untuk mewakilkan rapat bulanan. Arion yang kuhubungi beberapa saat sebelum rapat mulai memaklumi keabsenanku. Begitupun Fano. Bahkan harapannya bahwa aku tidak akan hadir karena ada yang harus diprioritaskan. Yaitu Rafa.

Aku terdiam di sana. Berdiri di kaki ranjang Rafa. Berharap bahwa aku akan menjadi orang pertama yang dia lihat. Menjadi orang pertama yang iya cari.

Ah, apa aku sudah gila? Kenapa aku berpikiran seperti itu? Bukankah ini hanya kewajiban dari komitmenku? Bukankah perasaanku tidak gampangan?

Tapi kenapa ada sebersit harapan ini?

Dengan tegang aku melihatnya untuk kesekian kalinya. Menatapnya seperti ini sepertinya tidak membuatku bosan.

"La, duduklah, sayang," kata Tante Mira.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman singkat dan memperhatikan Rafa kembali.

Dokter Arsan bilang kemungkinan Rafa sadar dalam waktu dekat sangat besar. Sama seperti yang dia katakan padaku saat pemeriksaan tadi pagi. Hanya bagian 'tidak ingin bangun' tidak disebutkan. Mungkin ingin menjaga perasaan kedua orang tuanya.

"La, duduklah. Sudah sejam kau berdiri di situ," tegur Om Bagas dengan lembut. "Kau mau kakimu sakit hanya karena terlalu sering berdiri? Setidaknya kalau kau tidak ingin berpindah, bawalah kursi ke situ,"

Aku mengangguk dan mengambil kursi. Meletakkannya di kaki ranjang di tempat di mana aku berdiri. Aku melakukannya dengan sangat cepat. Sampai suara kekehan terdengar di telingaku. Suara Tante Mira dan Om Bagas.

Aku tahu mereka menertawakanku karena tingkah anehku ini. Kan anaknya sendiri yang buat aku berubah menjadi seperti ini.

Eh, apakah aku berubah? Sepertinya tidak. Aku merasa tidak berubah.

Aku hanya membalas kekehan mereka dengan tawa kecil. Namun, sepertinya keputusanku salah.

Karena saat aku memalingkan wajahku, mataku tertumbuk dengan manik milik Rafa yang sudah membulat sempurna. Dia hanya mengerutkan kening saat melihatku.

Kepalanya menoleh ke arah dua orang yang sedang duduk di sofa. Mereka pun sama terpakunya denganku. Menatap Rafa tanpa suara.

"A-a-ir," katanya dengan terbata. Dengan sigap aku langsung mengambil segelas air dan menyuapkan sesendok ke dalam mulutnya.

"Ma-ma, Pa-pa," katanya lagi saat kepalanya sudah terbaring dengan baik.

"Kami di sini, nak," Tante Mira menggenggam sebelah tangan Rafa. Binar kebahagiaan di matanya tidak dapat disembunyikan. Melihat anaknya terbangun dari sebuah tidur yang cukup panjang.

"Pa-pa," tangannya menggapai Om Bagas. Om Bagas hanya tersenyum. Tapi aku tahu, itu adalah senyum kelegaan melihat jagoannya membuka matanya lagi.

"Hei, buddy," Om Bagas meraih tangannya yang masih menggantung di udara.

Ah, melihat pemandangan seperti ini dihadapanku, serasa ingin berlari ke dalam pelukan Mommy dan Daddy.

Dokter Arsan tiba-tiba sudah ada di hadapanku. Dia memeriksa kondisi Rafa. Aku bahkan tidak sadar saat dokter itu masuk. Aku hanya melihat Rafa menjawab beberapa pertanyaan dari dokter muda itu. Rafa terlihat membaik.

"Coba anda sebutkan jumlah jari yang saya tunjukkan," kata dokter itu sambil menujukkan beberapa jarinya.

"Tiga,"

"Dua,"

"Empat,"

"Tujuh,"

Jawaban Rafa membuat Dokter Arsan tersenyum lebar.

"Welcome back, Sir," kata Dokter Arsan seraya menepuk punggung tangan Rafa dengan pelan.

Kemudian dokter itu berbicara beberapa hal dengan Tante Mira dan Om Bagas terkait dengan pemulihannya, pola makan, istirahat, dan tidak tau apa lagi karena mataku sekarang sedang menatap pria di depanku ini.

"Hai," kataku pelan. Rafa hanya tersenyum dan memalingkan wajahnya melihat kedua orang tuanya berbicara dengan dokter.

Apa dia marah padaku? Apa dia kecewa karena tidak menikah denganku? Memangnya dia tau sekarang tanggal berapa? Kenapa dia tidak menjawabku? Kenapa...

Pertanyaanku terhenti di situ saat Rafa memanggil Tante Mira dan bertanya "Ini siapa?" sambil menunjukku.

Bagaikan petir di siang bolong, aku melongo tidak percaya. Semua orang di dalam ruangan itu pun langsung terdiam, termasuk dokter Arsan.

"Rafa, kamu nggak ingat?" tanya Tante Mira dengan lembut.

Rafa hanya mengerutkan keningnya dan menggeleng kepalanya dengan samar.

"Biar saya periksa Rafa lebih lanjut, ya bu," kata dokter Arsan menengahi.

"Anda tahu mengapa anda di rawat di sini?" tanya dokter Arsan dengan lembut.

"Mmm...karena saya kecelakaan," Rafa menjawab dengan ragu-ragu. Membuat kami semua menahan napas untuk beberapa detik menanti jawabannya.

"Kecelakaan seperti apa yang anda ingat?"

"Karena saya membawa motor balap saya. Saya ingat malam itu jalanan cukup licin karena hujan beberapa jam sebelumnya," Rafa menjawab dengan tenang kali ini.

Aku menghela napas dengan terbata.

"Anda tahu sekarang tahun berapa?"

"2011 kan?"

-

"Tuan Rafa mengalami amnesia retrograde. Memori setelah kecelakaan tahun 2011 rusak, sehingga dia tidak bisa mengingat apa pun setelah kejadian itu. Mungkin disebabkan benturan yang cukup keras pada kepalanya saat kecelakaan mobil terjadi," jelas Dokter Arsan.

Tante Mira memelukku dari samping sambil mengusap lenganku.

"Tuan Rafa akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai benturan di kepalanya. Saya akan siapkan berkas-berkasnya. Saya mohon kerja sama dari orang tua untuk tidak memaksakan ingatannya sebelum hasil pemeriksaannya selesai," dokter muda itu meninggalkan kami bertiga. Aku berdiri mematung di depan pintu ruangan Rafa.

Haruskah aku masuk? Sebagai sebagai siapa aku memperkenalkan diri?

Tiba-tiba tangan kokoh lebar merangkulku dari belakang.

"Bei," kataku sambil melihatnya berdiri dengan tenang.

"Aku sudah mendengar keadaan Rafa," Bei memelukku dengan lembut. Kusandarkan kepalaku di dada bidangnya. Pikiranku kosong. Aku tidak tahu harus berbuat apa.

"Pulang?" tanya Brandon dengan posisiku masihh dalam pelukannya.

Aku menggeleng pelan. "Aku ingin masuk,"

Brandon melepaskan pelukannya dan merangkulku berjalan masuk ke kamar Rafa.

Aku tahu apa yang harus kukatakan!


Dear, Stella!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang