Akhirnya aku bisa bernafas lebih banyak setelah ada bantuan oksigen di mulut dan hidungku. Tubuhku sangat lemas. Bahkan seperti tidak mempunyai tulang. Aku ingin sekali bangun dari tempat tidur UGD ini, tapi aku seperti terpaku di sini, tidak mempunyai kekuatan sama sekali.
Dari balik tirai, aku mendengar jelas suara Nakazato san sedang berbicara dengan dokter jaga. Aku terkejut ketika dia dapat berbicara sangat lancar menggunakan Bahasa Indonesia. Tak lama kemudian, Nakazato san membuka tirai ruangan dan memandangku lalu tersenyum. Dia masuk ke dalam dengan tangan di kedua kantong celana.
"Daniya san, ima daijoubu? (Daniya, apakah kamu sekarang baik-baik saja?)" tanyanya dengan mimik yang membuatku tersenyum. Aku membuka masker oksigen untuk menjawab pertanyaannya.
"Daijoubu desu. Gomen nasai ne, Nakazato san. (Saya baik-baik saja. Maaf ya, Nakazato san.)" kataku dengan suara lemas.
"Iieee! Bikkuri shita yo. Shimpai shita! (Tidak apa-apa! Saya kaget dan saya khawatir!)" katanya lagi.
"Arigatou...(Terima kasih...)" kataku tersenyum.
Dari belakang badan Nakazato san, terdengar bunyi tirai dibuka kembali. Aku tidak bisa melihat siapa yang datang karena tertutup oleh tubuh Nakazato san yang besar. Nakazato san pun memiringkan badannya untuk mengetahui siapa yang datang. Ternyata Dokter Jaga!
Dokter muda itu menyapaku sambil berjalan masuk ke dalam ruangan.
"Bagaimana keadaannya, Ibu Daniya? Apakah sudah lebih baik?" tanyanya ramah.
"Ya, sudah bisa bernafas dengan baik, Dok." jawabku pelan.
"Apakah ibu sering mengalami sesak nafas seperti itu?" wajah Dokter terlihat serius menanti jawabanku.
"Tidak pernah, Dok! Baru kali ini, saya merasakan sakit di dada dan kesulitan nafas seperti itu." jawabku tenang.
Mendengar jawabanku, Dokter mengangguk pelan. Terlihat dengan jelas, bahwa dokter sendiri pun masih belum bisa memprediksikan apa yang terjadi dengan tubuhku.
"Apa ada keturunan penyakit asma di dalam keluarga?" tanyanya lagi.
"Setahu saya tidak ada, Dokter." jawabku tegas.
"Sebaiknya, Ibu Daniya memeriksakan dirinya lebih mendalam ke Dokter Spesialis. Nanti saya akan berikan rujukan surat ke Dokter Jantung ya." kata Dokter dengan ramah. Akupun mengangguk pelan. Lalu, Dokter keluar dari ruangan dan menutup tirainya kembali.
Tak lama, seorang suster membuka tirainya dan bertanya sambil menatap ke arah Nakazato san.
"Maaf, apakah anda suaminya?"
"Iya! Eh... Apa?!" Nakazato kebingungan dengan kalimat yang diucapkan oleh suster itu dengan nada cepat.
Akupun kaget ketika mendengar jawaban Nakazato san. Lalu, tertawa melihat reaksinya yang kebingungan.
"Bukan, Suster! Dia adalah client saya. Memangnya ada apa, Sus?" ujarku masih sambil menahan geli.
"Oh, maaf. Ada surat yang harus ditandatangani untuk merujuk kepada pembayaran." jelas suster tersebut dengan sikap memohon maaf.
"O, begitu! Bawa saja kesini, nanti saya yang akan tandatangan, Suster." ucapku tenang.
Setelah melihat keadaanku beransur-ansur lebih baik. Aku memutuskan untuk pulang. Nakazato san bersikeras ingin membayar biaya rawat UGD, tapi aku memenangkan argumentasi itu. Lalu, setelah menunggu sekitar 10 menit, proses pembayaran telah selesai.
Kami berjalan pelan ke arah lobby Rumah Sakit. Sambil melangkah, aku masih mencari-cari pembenaran dan jawaban kenapa tadi aku seperti tidak bisa bernafas dan dadaku sangat sakit sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
My husband My Pilot
RomanceMenjadi istri dari seorang Pilot, tidaklah sekeren dugaan orang lain. Isyu perselingkuhan antara Pilot dan Cabin (*baca pramugari) kerap kali mengganggu kehidupannya. Cinta saja tidaklah cukup untuk menjalankan sebuah perkawinan layaknya pangeran da...