Biar Begini

2.1K 122 8
                                    


       Siang itu, Mamih dan Bapak membawa Baby Sitter datang ke rumah. Aku sangat terbantu dengan perhatian kedua orangtuaku ini. Hanya merekalah yang membuatku tetap tegar melewati semua cobaan.

        "Defian biar diurus sama Mbak Ade. Jadi kamu bisa istirahat juga, Kak." Kata Mamih sambil menggendong Defian.

       "Betul kata Mamih, Kak. Kamu harus memperhatikan kesehatan kamu juga." Tambah Bapak.

       Sebelumnya semuanya terasa sangat sempurna. Bahkan meskipun aku memiliki penyakit Hipertensi Paru ini, aku tetap merasa menjadi orang yang beruntung karena diberikan kesempatan memiliki anak dan suami yang sayang terhadapku. Sampai akhirnya, datang musibah itu, disusul dengan hilangnya ingatan Mas Daniel yang membuat hidupku terasa..... hampa! Yah, hampa kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku saat ini.

       "Kakak tidur saja dulu. Biar mamih yang urus Defian bersama Mbak Ade." Aku tersentak dari lamunanku sesaat. Dan, benar kata Mamih, memang tubuhku terasa sangat lelah.

       "Makasih ya, Pak dan Mamih. Aku tidur dulu sebentar deh." Akupun bangkit dari tempat duduk dan berjalan pelan menuju kamar.

*********

       Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Tidur selama dua jam, benar-benar membuat tubuhku segar kembali. Aku keluar dari kamar, mengenakan kaos pink dan celana putih selutut. Rambut yang masih basah, sengaja aku gerai. Make up tipis natural membuat wajahku terlihat lebih cerah.

       Harum minyak telon yang khas tercium ketika aku membuka pintu. Tampaknya Defian juga baru saja mandi. Wajah yang putih terbungkus kain bedong berwarna biru, tampak nyaman berada di dalam box bayi.

       "Tuh, bunda cantik sudah datang." ujar Mamih seraya tersenyum melihat penampilanku. Beliau adalah orang yang sangat khawatir dengan keadaanku. Berkali-kali beliau selalu menelfon ataupun mengirim pesan menanyakan keadaanku, Defian dan Mas Daniel.

       Seorang ibu memang tidak akan pernah luput berdoa untuk kebahagian anaknya. Itu yang selalu diucapkan olehnya kepadaku. Dan aku beruntung memilikinya sebagai orangtuaku.

       "Mamih dan Bapak pulang dulu ya, Kak." Ujar Mamih memeluk tubuhku dan memberikan aku wejangan agar aku tetap kuat melewati semua ini.

       Aku dan Defian mengantar Mamih dan Bapak sampai ke mobil. Kami masih berdiri di luar rumah, meskipun sudah tidak tampak mobil kedua orangtuaku di ujung jalan komplek. Aku menatap langit yang berwarna kemerahan. Terasa sangat hangat. Indah sekali!

       Angin semilir menerpa pipi Defian, yang membuatnya terlelap. Aku melangkah pelan memasuki rumah dan meletakkan Defian di atas tempat tidur kamarku.

       "Assalamualaikum," Seketika aku mendengar ada seseorang yang mengucapkan salam di luar kamar.

       "Waalikumsalam," Suara Bibi dan Mbak Ade menjawab.

       "Siapa, Bi?" Tanyaku seraya membuka pintu perlahan.

       "Neng Eva, Non." Jawab Bibi seraya mempersilahkan masuk Eva ke dalam rumah.

       "Oh, hai Va." Sapaku berjalan mendekatinya.

       "Ya Allah, lo pucat banget sih, Dan." Katanya seraya mencium pipi kiri dan kananku.

       "Masa?... Ini aja aku sudah lumayan istirahat, Va."

       "Tapi lo masih terlihat lelah banget lho! Oh ya, ini aku bawain buah Naga dan Alpukat."

My husband My PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang