Dipersimpangan

3K 137 2
                                    

     Dengan perasaan gundah, kutatap wajah seorang pria yang tergeletak lemah tak berdaya di hadapanku. Dibeberapa bagian wajahnya terdapat goresan luka yang hampir mengering. Ku cium pipinya, keningnya, hidungnya dan kukecup bibirnya perlahan.

     Ya... Tuhan, betapa aku sangat merindukannya.

     "Aku disini, Mas Daniel. Bangunlah, sayang..." kubisikkan kalimat itu dengan lembut di kupingnya. Airmataku menetes di pipinya, lalu kuusap pelan dengan jari tanganku.

     Kudekatkan kursi menghadap dirinya. Kugenggam erat tangannya yang dingin dan kuciumi punggung tangannya dengan perasaan sedih yang menusuk hati.

     "Kau tahu, Mas... Aku telah melahirkan anak kita dengan sehat dan selamat. Dia seorang bayi laki-laki yang tampan seperti dirimu. Kau harus lihat matanya yang coklat, sama seperti matamu. Kau harus dengar suara tangisnya yang kuat ketika dia ingin minum susu. Kau harus lihat wajahnya yang sangat menggemaskan ketika ia tidur dan kau harus menggendongnya karena dia adalah putramu," aku berkata dengan terisak-isak. Menahan sesak yang menekan dada. Bukan karena penyakitku tapi karena aku merasa tak mampu sendirian tanpanya.

     "Jadi, kamu harus sadar, Mas! Berjuanglah, untukku dan untuk anak kita. Aku tahu kamu bisa kembali kepada kami. Aku tahu kamu sedang berusaha di dalam sana. Teruslah berjuang dan kembalilah kepada kami, Mas!" ucapku dengan tubuh gemetar seraya memegang jemarinya dengan sangat erat.

     Beberapa saat kedepan, aku hanya terdiam memandangi wajahnya. Mengusap lembut pipinya, dan memperhatikan setiap details lekukan wajahnya. Kusadari, betapa aku sangat mencintainya.

     Kuambil buku doa dari dalam tas dan kubacakan di kupingnya dengan terus menerus memanggil namanya semampu kubisa. Airmataku tak berhenti mengalir seiring aku membacakan beberapa ayat al-quran dalam ruangan sunyi yang dingin.

**************

     Sudah hampir seminggu, Mas Daniel masih dalam keadaan koma. Setiap hari aku selalu menemaninya, walaupun aku harus meninggalkan bayiku untuk sementara waktu.

     Hari ini, keluargaku mengurus aqiqah anak kami. Aku menatap putraku yang tertidur pulas di keranjang bayi.

     "Bunda harap, kamu bisa memaafkan Bunda yang selalu tidak ada di sampingmu. Bunda harus menemani Abi di Rumah Sakit, Nak. Doakan Abi agar cepat sadar dan bisa kembali kepada kita ya." kuhapus airmataku yang jatuh, sambil kugenggam tangannya yang kecil.

     Puluhan kotak tasyakur aqiqah bertumpuk-tumpuk di sudut ruang makan. Kulihat stiker yang ada di atas penutup box makan tersebut. Terdapat foto anakku dan nama yang tertulis di sana. "Defian Syaf Madana Putra" itu nama yang disiapkan oleh Mas Daniel untuk putra kami. Yang berarti seorang pemimpin penuh cinta yang terlahir menjadi menyembuh kerinduan keluarga.

     Aku jadi ingat beberapa waktu yang lalu, Mas Daniel sangat sibuk mencari beberapa nama dengan arti yang bagus. Dia adalah seorang pria yang sangat well prepare, oleh karenanya dia mempersiapkan dua nama, untuk perempuan dan untuk laki-laki.

     "Jadi kita sudah siap! Kalau bayinya laki-laki, namanya ini! Kalau bayi perempuan, namanya ini! Arti dari kedua nama ini, bagus kan, Bun?... Nama itu adalah pengharapan dari orangtuanya. Tidak ada salahnya kita berharap yang terbaik untuk anak kita. Bukan begitu, Bun?...." ujarnya dengan mata berbinar-binar dan wajah yang sangat bahagia.

     Aku tersenyum mengenang kejadian itu. Sejak usia kehamilanku menginjak 30 minggu, Mas Daniel sudah membiasakan dirinya memanggilku dengan panggilan "Bunda" dan memanggil dirinya dengan sebutan "Abi".

My husband My PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang