Benci

3.8K 132 29
                                    

Malam makin larut. Jam di dinding telah menunjukkan pukul 22:00. Aku masih berada di ruang tamu, dengan keadaan televisi yang masih menyala. Tanpa sadar aku telah menguap berkali-kali.

Mas Daniel belum juga pulang...

Defian sudah tidur sejak jam 20:00. Dan, aku sengaja berada di sini, menunggu kedatangan Mas Daniel. Pesan WhatsApp yang kukirimkan sejak dua jam lalu, belum juga dibaca olehnya. Aku mencoba menelfonnya tapi tidak diangkat juga. Sekarang hal yang bisa aku lakukan hanyalah menunggunya di sini.

Mataku terasa sangat lelah dan ingin rasanya kupejamkan sebentar saja. Tapi kali ini tidak akan aku izinkan untuk terlelap. Harus kupaksa diriku agar tetap sadar karena aku tidak ingin membiarkan keadaan perang diam dengan Mas Daniel terus berlangsung. Kukucek kedua mataku dan berusaha menonton TV walaupun terasa tidak menarik untuk dilihat.

Kebosanan ini menyiksaku, dan akhirnya kuputuskan untuk beranjak bangun dari sofa menuju toilet untuk mengusap wajahku dengan air. Lalu, berjalan ke meja makan dan mengambil air putih hangat dari dispenser dan duduk termenung di sana.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara mobil masuk ke dalam garasi. Aku melirik jam dinding, waktu telah menunjukkan pukul 23:40.

Ah... akhirnya Mas Daniel pulang juga.

Aku berjalan ke pintu depan dan membukanya perlahan. Mas Daniel terkejut melihat keberadaanku di depan pintu.

"Oo.... Kamu belum tidur, Daniya?" tanyanya seraya menghindari tatapanku.

"Nggak bisa tidur, Mas. Aku nungguin kamu." Jawabku pelan.

Mas Daniel tidak berkata apapun mendengar ucapanku. Dia hanya berjalan melewatiku dan masuk ke rumah seolah-olah tidak mendengar perkataanku.

"Kamu sudah makan, Mas?" tanyaku sambil mengunci kembali pintu depan.

"Sudah."

"Mau aku buatkan susu hangat?" tanyaku lagi. Aku tidak akan menyerah agar Mas Daniel bisa bicara denganku.

Mas Daniel meletakkan sepatu ke dalam shoe rack dan menghela nafas panjang. Lalu sesaat dia berbalik ke arahku dan berkata dengan pelan, "Iya, mau."

Aku tersenyum ke arahnya dan berjalan duluan menuju meja makan. Mengambil gelas dan memasukkan susu putih lalu menyeduhnya dengan air panas dan menambahkan air natural agar tidak terlalu panas.

Mas Daniel menarik kursi di meja makan dan duduk di sana sambil terus memperhatikanku yang sedang mengaduk susu hangat.

"Ini, Mas. Segera diminum, mumpung hangat." Ujarku seraya meletakkan gelas yang berisi susu ke hadapannya.

Mas Daniel mengangguk, "Iya, terima kasih, Daniya."

Diapun menyeruput susu hangat itu dengan kedua tangannya. Aku memperhatikan tingkahnya yang sama persis seperti dulu sebelum dia kehilangan ingatannya.

Aku senang sekali bisa melihatnya bertingkah seperti itu dihadapanku. Aku perhatikan wajahnya dengan seksama, betapa aku sangat rindu dengan semua yang ada pada Mas Daniel. Tanpa sadar aku tersenyum, aku senang bisa menatap wajahnya malam ini, dan berharap perang dingin di hati kita masing-masing bisa mencair.

"Susunya kepanasan, Mas?" tanyaku dengan senyum termanis yang kupersembahkan hanya untuknya.

"Nggak. Pas kok." Jawabnya seraya meletakkan gelas di atas meja.

Sesaat kami terdiam. Aku hanya memandangi wajahnya yang terlihat sangat lelah. Wajah Mas Daniel tertunduk menatap gelas yang hampir kosong.

"Daniya, aku ingin bicara mengenai banyak hal." Tiba-tiba Mas Daniel berkata dengan helaan nafas.

My husband My PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang