Siang itu, aku dan Mas Daniel sudah bersiap-siap untuk pulang. Semua administrasi pembayaran Rumah Sakit juga sudah diselesaikan oleh asuransi kantor. Kami masih duduk disini karena menunggu kedatangan adikku, Diandra dan pacarnya, Alan.
Aku sengaja memanggil mereka karena sejak Mas Daniel siuman, ada banyak awak pers yang datang ke Rumah Sakit. Dan mereka menunggu di ruangan depan lift yang bersebelahan dengan ruang suster. Kalau bukan karena ada security yang menjaga, mereka pastinya sudah masuk ke dalam kamar Mas Bima dirawat.
Sejak para wartawan itu tahu bahwa aku adalah istri dari Captain yang pesawatnya meledak beberapa pekan lalu, mereka selalu mengejarku untuk mendapatkan berita tentang keadaan dan informasi dari Mas Daniel.
Aku jadi takut keluar ruangan, karena sikap mereka yang terlalu memaksa untuk meminta informasi. Aku seperti berada di dalam penjara, tidak bisa berbuat banyak dan sama sekali tidak memiliki privasi.
Brakkk.....
Suara pintu yang tiba-tiba terbuka dan mengenai dinding ruangan, membuat aku dan Mas Daniel tersentak kaget.
"Sudah siap, Kak?" Tanya Diandra sambil berjalan ke arahku.
"Iya, sudah." Jawabku seraya berdiri.
"Barangnya sudah semua dikemasi?" Diandra melihat dua tas berukuran sedang yang aku letakkan di samping sofa.
"Iya, sudah. Memang Cuma dua tas kok. Nggak banyak bawa baju." Jawabku lagi dengan memperhatikan sekeliling ruangan.
"Ok, nanti aku aja yang bawa, Kak." Alan berkata sambil menjinjing dua tas tersebut.
"Okay, makasih ya, Lan." Ujarku dengan tersenyum.
"Iya, Kak. Sama-sama." Alan membalas senyumnya kepadaku.
"Oh ya, Kak. Diluar banyak banget wartawan. Mereka tahu kalau Mas Daniel akan pulang siang ini. Jadi nanti formasinya, aku jalan sama Kakak. Dan Mas Bima dibantu sama Alan. Begitu ya." Diandra mengutarakan strateginya kepada aku dan Mas Bima. Tapi Mas Bima hanya menunduk tanpa berkata sepatah katapun.
Lalu kami bersiap keluar ruangan. Dan, benar saja. Dengan seketika banyak wartawan yang mengerubuti kami. Tubuhku terhimpit dan kepalaku mendadak menjadi pusing karena mendengar banyak pertanyaan yang diutarakan wartawan. Perjalanan menuju lift begitu amat mencekam bagiku. Untung saja ada beberapa orang kantor Mas Daniel dan security yang membantu kami. Sehingga kami tidak terlalu lama menunggu kedatangan lift.
Sekejap, akupun melihat wajah Mas Daniel yang sangat tegang. Kedua tangannya disilangkan di dadanya dan matanya hanya menatap ke bawah. Tampak jelas sekali dia gelisah. Aku merasa kasihan terhadapnya. Aku sangat ingin memeluk lengannya, mengusap punggungnya dan menenangkannya disaat keadaan kritis seperti ini. Tapi apa dayaku, aku tidak bisa melakukan itu. Karena aku tahu, dia pasti tidak akan mengizinkan aku mendekatinya.
Dadakupun berdetak sangat cepat. Aku tahu ini tidak baik untuk kesehatanku. Nafasku mulai tidak beraturan. Itu pasti karena aku stress dan tegang.
Ketenangan di dalam lift tidak berlangsung lama. Setelah lift terbuka di lobby, kami kembali dikerumuni wartawan. Kali ini karena jarak lift dan lobby utama agak jauh. Dadaku terasa sesak. Nafasku mulai tersengal-sengal. Oh...Tuhan! Tolong kuatkan aku, jangan sampai aku pingsan di sini!
Aku dipegangi Diandra dengan kuat. Untungnya dia lebih tinggi dan besar dariku, sehingga aku bisa bersandar kepadanya sejenak. Tanpa kusadari langkahku melambat.
"Kak, bertahan ya. Sebentar lagi sampai lobby kok." Diandra seakan tahu kalau aku hampir pingsan. Lalu dia menarikku lebih cepat dan tak berapa lama, akhirnya aku bisa masuk ke dalam mobil yang telah menunggu di depan lobby.
KAMU SEDANG MEMBACA
My husband My Pilot
RomanceMenjadi istri dari seorang Pilot, tidaklah sekeren dugaan orang lain. Isyu perselingkuhan antara Pilot dan Cabin (*baca pramugari) kerap kali mengganggu kehidupannya. Cinta saja tidaklah cukup untuk menjalankan sebuah perkawinan layaknya pangeran da...