7. Healing

571 50 13
                                    

Aku terbangun dan mendapati sedang tertidur di depan mesin jahit. Akibatnya seluruh badanku terasa remuk karena tidur duduk menekuk dan perut mual. Aku berdiri menjauhi mesin jahit.

Di mana aku?

Setelah hampir semenit waktu berselang, aku baru menyadari jika aku masih berada di toko. Ponselku berdering, nomor tak dikenal memanggil setelah sembilan puluh lima kali tak terjawab.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam. Ya Tuhan, Alhamdulillah ... Kamu di mana sekarang, sayang?"

"Aku di toko ..., Teo," jawabku ragu.

"Sepagi ini?" rasa tak percaya tergambar jelas dari suaranya. Kulirik jam digital di samping rak, pukul 04.38 WIB. Terdengar adzan subuh baru saja berkumandang.

"Aku ketiduran di sini, jadi ..."

"Ah baiklah, aku akan menjemputmu," potongnya. Diputusnya begitu saja panggilan telepon itu. Hmm, kebiasaan.

Belum sampai sepuluh detik, ponselku kembali berdering. Nomor itu lagi,

"Halo, sayang. Berikan alamat tokomu." Aku tak bisa menyembunyikan senyumku. Begitulah dia, tak sabaran.

"Jalan Johar nomor 30, Menteng. Apa kau tahu?"

"Hmm, aku belum pernah ke jalan itu. Baiklah nanti aku pasang gps," gumamnya di seberang telepon sana.

"Daripada nanti tersesat, aku pulang sendiri saja, ya." Kucoba untuk mengurai kebingungannya.

"No way. Tunggu aku di situ ya, Nyonya Teo. Assalamu'alaikum." Sambungan dimatikan tanpa sempat kubalas salamnya. Bibirku menggariskan seulas senyum, Teo manis. Aku pun membereskan toko dan menuju keluar.

---

Dua menit sudah aku menunggu Teo di luar. Namun, belum ada tanda-tanda kehadirannya. Situasi subuh yang tenang, dan sangat dingin.

"Sayangku!" serunya sambil memelukku setelah dia melompat dari kursi kemudi, membuka pintu dan berlari ke arahku. Aku segera mengumpulkan kesadaranku dan melepas pelukannya. Ada rasa bingung terpancar dari sinar matanya.

"Kenapa?" tanyanya heran.

" ... "

Aku menarik pintu samping kemudi dan masuk ke dalam mobil hyundai-nya. Teo pun berlari menuju tempat duduk di belakang kemudi.

"Jelaskan padaku, ada apa denganmu, sayang?"

Kupeluk dirinya dengan tiba-tiba, dia terasa kaget hingga menahan napasnya berembus. Namun, beberapa detik setelahnya, Teo mulai rileks dan membalas pelukanku.

"Aku takut ada orang melihatmu," balasku. Dia hanya terkekeh dan mengeratkan pelukannya.

"Kamu baik-baik saja, sayang?" tanyanya dengan masih mendekapku. Dia bahkan menggerakkan rahangnya di atas kepalaku saat bertanya.

Aku menganggukkan kepalaku dan wajahku terus menyusup ke dada bidangnya. Menghirup aroma mask dan mint dalam dirinya.

"Baiklah, sekarang aku akan mengendarai mobil ini dulu ya, sayang," katanya sambil mengelus rambutku. Aku menjauhkan diriku darinya dan duduk dengan normal.

Teo bersikap manja pada orang lain, tapi tak pernah ia munculkan di hadapanku. Apa dia benar menyukaiku?

---

Teo tak mengajakku kerumah, ia malah mengajakku ke kantor management-nya.

"Kenapa kemari?" tanyaku saat ia menghentikan mobilnya dan menghadap ke arahku.

"Aku sedang terburu-buru karena ada kerjaan. Kamu pakai masker ini, aku akan mengajakmu ke dalam," Dia memberikan masker berwarna hijau toska dan memakai masker hitam untuknya sendiri.

Kami berjalan beriringan di baseman. Ini kali pertama aku mengunjungi tempat ini. Rasanya sangat canggung berada di sini, seperti bukan duniaku.

"Aku berjalan di depan. Tetap ikuti aku ya sayang," bisiknya tepat di telingaku. Aku mengangguk dan memberinya kesempatan untuk berjalan lebih dahulu. Langkahku mengikutinya dengan begitu gugup, apalagi perutku mual lagi.

---

"Kau telat lima menit, Teo!" seru BJ saat ia baru saja membuka pintu sebuah ruangan.

"Maafkan aku, Kak."

Ruangan tersebut seperti sebuah ruang latihan yang berdinding cermin-cermin raksasa. Aku dan Teo membuka masker kami.

"Hai ... Cantik, sini masuk." Ekspresi BJ berubah ramah. Ada lima orang lagi yang sedang duduk di sudut ruangan. Kak Jean, Yongki, James, Hose dan Juna. Mereka tampak lelah.

Aku berjalan di belakang Teo, dan kami mendekati yang lain. Tampak mataku menangkap sorot Yongki yang begitu sayu namun tajam sekaligus.

Bugh!

Aku menubruk punggung Teo yang berhenti tiba-tiba. Mereka tersenyum tipis ketika aku mengelus lenganku sambil meringis kesakitan.

"Jaga istrimu baik-baik. Dia masih sakit begitu kenapa malah diajak ke ruangan ber-ac dingin begini?" Yongki berbicara dengan nada yang datar namun sarat akan perhatian.

"Kamu sakit, sayang?" tanya Teo, ia menghadap ke arahku, dekat.

"Teo, Phyta pucat begitu. Ajak dia istirahat di asrama sana," Kak Jean memberi anjuran.

"Aku baik-baik saja kok," bisikku pada Teo.

"Dia bilang, dia baik-baik saja kok, Kak."

"Anterin Juna aja yuk Kak," Juna tersenyum ramah sambil menghampiriku. Namun, aku malah ditarik Teo untuk menjauh dan menuntunku keluar gedung.

"Heii ... Kak Teo, Aish ...," Juna terdengar kecewa ketika kami menjauh tadi.

---

Teo mengajakku ke bagian lain di gedung ini. Ternyata, di Jakarta yang panas ini, terdapat sebuah daerah yang ternyata terasa sejuk. Kami berjalan menuju ke belakang gedung yang ditumbuhi beberapa pohon mangga dan rambutan yang tengah berbuah. Sejuk ...

"Apa selama kutinggal beberapa hari ini, kau sakit?" Teo memulai percakapan ketika kami telah duduk di bangku panjang yang tersedia di sini.

"Iya, Teo. Saat kau meminta Yongki menemuiku. Katanya aku sedang pingsan di ruang keluarga apartement kita. Aku sudah mengabarimu."

"Ah, saat aku ke Yogyakarta? Maafkan aku sayang. Ponselku hilang saat aku perjalanan berangkat ke Yogyakarta kemarin."

"Benarkah?"

"Aku tak pernah membohongimu sayang. Aku mencintaimu ... sangat. Apa kau meragukanku?"

"..."

"Aku bahkan selalu memimpikanmu dan naga. Oh iya, apa kau hamil?" tanya Teo tiba-tiba, membuat pipiku memanas.

"Menurutmu?" aku tersenyum.

"Benar kan? Ah ... Alhamdulillah ... " dia tak henti tersenyum. Matanya berbinar indah.

Kau berhutang banyak cerita padaku. Teo.

-Rey-
(200517)

Teo ini bikin gregetan, ya nggak? Yuk vomment

TeoremaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang