16. Be Better

541 45 25
                                    

"Kenapa kamu baru kemari?" tanyaku pada Teo sore ini. Teo mencubit pipiku dengan gemasnya.

"Maafkan aku, Sayang. Seminggu ini aku harus menetralkan gosip yang beredar karena lebam-lebam di wajah waktu itu." Teo kemudian memelukku dan mengajakku duduk dari rebahanku dengan pelan, sementara itu, Teo duduk di pinggir kasur.

Aku belum memberitahunya bahwa aku sudah bisa bangun bahkan berjalan-jalan kecil. Yah, biarkan saja, sekali-kali dia perlu dikerjai. hihihi ...

Rasanya akhir-akhir ini juga aku amat merindukannya. Mungkin bawaan bayi. Dia terlihat semakin memesona. Dan semua lebamnya telah memudar. Dia pasti menjalani perawatan ekstra untuk memulihkan lebam dan memar di wajahnya.

"Sayang, kok diam?" tanyanya. Aku hanya tersenyum.

"Aku hanya ..., Teo aku ingin bubur kacang hijau."

"Nanti akan kubelikan ya, Sayang. Aku kan baru bertemu denganmu?" ujarnya sambil memelukku

"Teo ...," kutunjukkan mata memelasku. Aku benar-benar ingin bubur kacang hijau sekarang.

"Besok ya, Sayang."

"Sekarang!"

"Hmm, Sayang. Hari ini aku take hampir lima puluh kali. Ah, badanku sakit semua." Diapun memperagakan pegal-pegal. Tangannya menggapai punggung serta pinggangnya dan hendak tidur menyebelahiku.

"Ah... baiklah. Maafkan ibu, Sayang. Ayah kalian tidak mau membuatkan ibu bubur kacang hijau. Hiks ...,"

"Eh, itu keinginan mereka?" Dia langsung bangun dan mengelus perutku yang mulai terlihat membuncit.

"Lupakan. Istirahatlah," lirihku.

"Hehehe, Sayang. Kamu marah ya?"

"Tidak." Aku masih menghadap ke arahnya, lalu menunduk. Kenapa rasanya sesedih ini? Biasanya aku tak mudah terbawa perasaan.

"Baiklah-baiklah ... Aku akan meminta pelayan membuatkannya."

"No, Teo. Aku hanya ingin bubur kacang hijau buatanmu," pintaku. Matanya membulat, mulutnya menganga sempurna.

"Sayang, Aku tak mau meracuni kalian," ujarnya. Dia menghawatirkan hasil masakannya sendiri. Aku tersenyum dan menangkup wajahnya.

"Hmm, ya sudah." Secara reflek aku berdiri untuk menuju dapur.

"Hai pelan-pelan. Wah, Sayang ... Kamu sudah bisa berjalan?" Teo nampak terkaget, begitupun aku. Ah ... Kenapa aku bisa lupa?

Aku tersenyum kepadanya. Teo mengikutiku menuju dapur di rumah istana ini. Mungkin dia masih mengkhawatirkanku, sehingga mengikuti hingga kemari.

"Duduklah," aku menyuruhnya duduk di ruang makan. Dia memperhatikanku yang tengah membuatkan sesuatu untuknya.

"Jangan paksakan dirimu, Sayang," ujarnya.

"Taraaaa ... Sudah lama aku tak membuatkannya ini," sambil menunjukkan mug berisi cokelat panas.

"Thank You, Dear." Dia tersenyum dan menggapai mug dengan wajah berbinar.

-

Suasana malam begitu hening di ruang tengah, sofa besar berwarna maroon tengah diduduki olehku dan Teo, sementara Papa dan Mama ada di sofa yang berseberangan dengan kami.

"Kau sudah putuskan sesuatu? Aku minta kau jawab sekarang." Papa sungguh tegas. Beliau masih mengenakan setelan kerja, namun tetap mengumpulkan kami.

"Ya, aku sudah mengumumkan pada media tentang statusku sebagai suami ... Tapi," Teo mengangkat suara.

Benarkah dia mengakuinya? Kapan? Kenapa aku tidak tahu? Hmm, benar saja ... Ponselku masih hilang sementara televisi di rumah super besar ini tak pernah menyala.

TeoremaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang