17. Crave

473 43 6
                                    

Ternyata ... Jaya.

"Mbak Phyta? Ah, aku merindukanmu." Dia menggenggam tanganku erat. Kami berada tepat di depan pintu butik sekarang.

"Aku juga. Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik-baik saja. Mbak Phyta juga terlihat cerah, Syukurlah."

"Hai ... Apa kalian mau terus begitu dan menghabiskan waktu istirahatku?" tanya Teo sambil mengambil tanganku posesif. Aku tersenyum pada Jaya.

"Baiklah, sepertinya manusia bermasker dan berhoddie hitam ini telah menjemputmu, Mbak. Hati-hati di jalan ... ."

"Sampai jumpa, Yok," sapa Teo.

"Yup. Jaga Kakakku!" seru Jaya. Teo melambaikan tangannya sembari membukakan pintu samping kemudi untukku.

"Silakan masuk, Sayang." Dia melindungi kepalaku agar tidak terpantuk atap mobil dengan telapak tangan kanannya. Aku mendongakkan kepalaku dan kudapati Dia tengah serius melihat ke arahku.

-

Sudah lima menit berlalu, kami masih saja berputar-putar di jalan yang sama. Sebenarnya, Teo mau mengajakku kemana?

Akhirnya kita berhenti di depan salah satu mall besar di Jakarta. Nampak ragu, Dia memutuskan untuk melepas maskernya dan kembali menyalakan mesin mobil menjauhi gedung bertingkat megah itu.

"Teo, sebenarnya Kamu mau mengajakku kemana?"

"Aku ingin beli Burgerkill tadi, tapi sepertinya terlalu banyak orang. Kita pesan order saja ya di apartemen, hehehe ..., " tawanya benar-benar tidak lucu.

Ada sikap aneh darinya yang kucurigai sebagai hal yang kurang menyenangkan untukku. Tapi apa?

"Ah, begitu," balasku. Aku berusaha tidak terlalu jauh mencari informasi. Rasanya yang kuinginkan saat ini adalah suasana yang nyaman di antara kami. Lagipula, aku percaya padanya.

"Teo, aku ingin sekali menyetir. Ijinkan aku menyetir mobil, ya ...," pintaku padanya. Aku ingin bisa menyetir dan berlatih sekarang juga.

"Menyetir?" Teo nampak menengok kearahku sekilas dengan pandangan khawatir.

"Iya, sekarang. Teo Please," bujukku.

Tangan kirinya bergerak mendekatiku, Dia mengelus rambutku, kemudian menuju perut buncitku sambil tersenyum. Kami berhenti di lampu merah.

"Aku bahkan sempat berpikir kalau Kamu tak bisa bersepeda. Bagaimana caranya mengemudikan mobil?"

"Hei," kupukul lengannya. "Aku pernah bisa bersepeda saat diajari Babas dulu."

"Babas? Siapa Babas? Sepertinya Kamu belum pernah bercerita tentangnya." Mobil kembali berjalan setelah lampu kembali hijau.

"Babas itu, Yongki. Rekan kerjamu. Aku baru ingat dia temanku saat SD."

"Ah, begitu."

"Iya. Jadi, kapan mulai menyetirnya?" tanyaku sambil mengelus perutku.

"Nanti kita cari jalan yang agak sepi ya, Sayang," bujuknya. Aku mengangguk menurutinya.

-

"Pandangan mata konsentrasi ke depan, Sayang. Lihat jalan yang akan kita lalui." Teo terus saja mengomandoiku.

"Baiklah ..." Mobil yang kukendarai baru beberapa meter berjalan, namun Dia terus berkomentar, jalannya juga tak semulus dan sesepi yang kukira.

"Nyonya Teo, kau memakai gigi gear persneling berapa?"

"Dua."

"Pantas saja. Harusnya pada awal mulai berangkat itu di gigi satu. Kurang stabil kan akhirnya?"

TeoremaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang