3. Difficulty

976 74 10
                                    

"Mama ... sudah lama menunggu? Maaf tadi ba ...."

Plaaaaaak!

"Ma ..., " kupegangi pipi kananku yang perih tertampar. Sorot wanita itu begitu tajam, lebih menyayat dari tamparan yang tadi melewati pipiku.

Air mataku meleleh seketika tanpa bisa kutahan. Sekarang mungkin tak begitu sakit, namun tusukan dalam hatilah yang membuat luka semakin menganga.

"Aku bukan Mamamu. Teganya kamu mencuri anakku dan sekarang berselingkuh! Pergi dari sini!" Tajam sekali ucapan beliau. Astaga, aku menatap mata beliau, mencari sorot Teo yang mungkin juga dimiliki oleh Mamanya agar aku tegar.

"Mama ..., " bisik seseorang. Itu bukan suaraku, bukan pula Jaya meski ia berdiri tepat di sampingku. Ah, suara dari ponselku. Aku baru sadar jika sedari tadi dia belum menutup panggilannya padaku. Kudekatkan ponsel ke telingaku.

"Phyt, aku sedang dalam perjalanan pulang. Ajak mama masuk. Ah, serahkan ponselmu ke mama." Kugerakkan tanganku sesuai perintahnya untuk memberikan ponselku pada mamanya. Mama menerimanya dengan enggan. Beberapa saat kemudian, beliau jauh lebih tenang.

"Silahkan masuk, Ma," ajakku pada beliau setelah kubuka kunci pintunya. Beliau memberikan ponselnya padaku. Kami bertiga pun masuk ke apartement dengan suasana hening. Terlalu sulit rasanya memulai percakapan lebih dahulu dalam situasi begini.

"Aku cuma mau ketemu Teo sebentar. Risih rasanya di sini. Selingkuhan di bawa masuk pula."

"Ma ..."

"Aku bukan Mamamu!"

"Nyonya Mahendra, ijinkan saya meluruskan kesalahpahaman ini. Saya Yoka Sanjaya, adik angkat Mbak Phyta. Kami saudara yang tumbuh bersama di panti. Jadi, tak ada alasan bagi saya untuk menyukai Kakakku." Jaya mengucapkannya dengan segenap emosi yang dipendamnya susah payah, mengingat dia adalah pria yang gampang menunjukkan emosi. Kulihat telapak tangannya mengepal kuat.

Beberapa menit kemudian, pintu apartement terbuka. Teo muncul dengan napas tersengal. Ia langsung memeluk mamanya yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Setelah melepas pelukannya, Ia menoleh ke sekitar.

"Hai, Yoka," sapa Teo dan merangkul Jaya. Mereka memang akrab karena seumuran dan satu angkatan.

"Kamu percaya dia adiknya? Hahaha, dia pasti membohongimu Kak. Buka matamu. Dia hanya mau memanfaatkan uangmu dan selingkuh di belakangmu."

Teo menengok ke arahku. Menatapku dengan dalam, kubalas tatapannya dengan sorotan datarku. Air mataku mengalir lagi tanpa bisa kucegah. Bahuku diusap Jaya untuk menenangkan.

"Nyonya Mahendra, anda sudah keterlaluan. Ayo, Mbak." Aku dituntun Jaya keluar.

"Yoka mau kemana? Yang ... jangan pergi." Aku masih saja mengikuti Yoka berjalan mendekati pintu. "Phyta Govanya Rasti," panggilnya lagi yang semakin memberatkan laju langkahku.

"Biarkanlah mereka pergi. Kamu kan gampang mencari perempuan yang lebih pantas buatmu." Pernyataan Mama berhasil membuatku terpaku di tempat. Jaya menoleh ke arahku dan mengeratkan genggaman tangannya. Dia menatapku sendu.

"Mama kenapa sih?" protes Teo yang terdengar jelas oleh telingaku.

"Mama cuma nggak suka dia jadi istri kakak." Aku terkejut. Kudengar Teo menarik napas berat dan mengerang,

"Argh... Ma, apa cuma itu yang ingin dibicarakan padaku?"

"Tidak, Kak. Lusa adik laki-lakimu wisuda lho. Kamu datang ya. Sendiri!" Mama memberikan penekanan pada kata Sendiri, yang sudah jelas menerangkan bahwa aku tak dibolehkan ikut.

"Up to you mom," kata Teo pasrah. Aku masih menghadap pintu, beberapa langkah lagi aku bahkan dapat melewati pintu keluar itu. Rasanya masih sulit untukku menatap interaksi keduanya.

"Kalau begitu mama pulang dulu ya Kak. Papa kelamaan nanti nunggu di basementnya."

"Mama dengan Papa ke sininya? Kenapa Papa tak ikut kemari?" tanya Teo, suaranya semakin dekat disertai langkah yang cukup cepat.

"Kamu kan tahu sendiri alasan Papa!" Mama mengatakannya penuh penekanan tepat saat melewatiku. Aku di dorong ke arah Jaya karena menghalangi jalan beliau ke arah pintu.

Jaya diam saja. Ia menggenggam tangan kananku sangat erat. Kuarahkan pandanganku padanya, kulihat Jaya menatap tajam ke suatu arah. Aku menengok ke arah pandang Jaya dan kulihat sorot sendu terbias dari mata Teo. Teo pun berjalan keluar.

Teo pergi mengantarkan Mamanya menuju basement. Aku ditarik dan dipeluk Jaya.

"Sabar ya, Mbak. Semuanya pasti baik-baik saja."

"Hmm ...," gumamku.

Pintu dibuka perlahan ketika aku baru saja melepas pelukan Jaya. Teo menatapku sendu, perlahan buliran air mata jatuh menuju pipi kirinya. Aku memang merasakan sakit karena begitu sulit menembus hati Mama. Namun, Teo pasti merasakan kesulitan yang berlipat-lipat karena Mama dan aku yang tidak akur. Aku selalu berusaha untuk akrab dengan beliau, tapi benar-benar sulit.

"Tadinya, aku akan mengajak Kakakku pergi. Tapi... kayaknya mending aku pergi sendiri. Jaga Kakakku ya, Teo."

"Thank you Yok, maaf membuatmu terlibat masalahku." Jaya hanya melambaikan tangannya sambil pergi.

---

Malam semakin larut, aku mendapati kasur di sebelahku kosong. Kemana Teo?

Ternyata Teo berdiri di depan jendela, menatap gelapnya malam dengan tatapan sendu yang sulit di artikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ternyata Teo berdiri di depan jendela, menatap gelapnya malam dengan tatapan sendu yang sulit di artikan.

Ternyata Teo berdiri di depan jendela, menatap gelapnya malam dengan tatapan sendu yang sulit di artikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kemudian ia menengadah dan menutup kedua belah kelopak matanya. Sungguh karya Tuhan yang luar biasa. Dia yang sedang menenangkan diri itu terlihat indah sekaligus memesona. Akankah ini mimpi? Ah, aku masih tidurkah?

"Teo ...," bisikku.

"Eh, kau terbangun?"

"Hmm,"

Dia mendekatiku dan memelukku erat. Air mataku mengalir di iringi senyum. Syukurlah, aku masih memilikinya ...

-Rey-

Terima kasih readers sudah sabar menunggu Teorema. Vomment ya ^^/.
Thank you ....

TeoremaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang