13. Teo

540 45 12
                                    

Dua hari ini, Teo tampak lebih pendiam, meski dia masih selalu bercanda dan penuh tawa saat berada di lokasi syuting. Seperti saat jeda syuting siang ini, lagi-lagi Teo menghilang dari peredaran.

Hose mendekati Teo yang sedang duduk sendiri di bangku taman lokasi syuting. Dia tengah terdiam menatap ponselnya. Sebotol air mineral terulur di depan Teo, diiringi senyum Hose kala Teo mendongak.

"Makasih, Kak."

"Iya. Sedang apa kamu?"

"Hmm, aku...,"

"Kamu sedang merindukan istrimu? Iya kan?" seru Hose dengan senyum lebarnya. Dia begitu yakin dapat menebak perasaan Teo.

"Hehehe ... aku hanya mengantuk. Kak, pinjam kakimu untuk kujadikan bantal, ya..."

"Oh begitu. Hai diminum dulu air putihnya," ujar Hose sambil menarik kakinya dari bangku taman.

"Ah... Kak. Sebentar saja." Teo berbaring di kursi taman panjang itu dengan kepalanya berbantal kaki kiri Hose. Matanya terpejam, berharap kepenatan dalam pikirannya sedikit menghilang.

BJ mendekat dengan wajah yang khawatir. Ia menggapai kening Teo yang membuat pria bersurai coklat tua itu terbangun.

"Eh, Kak BJ."

"Syuting sudah mulai."

Mereka berdua berdiri dengan tergesa dan mengikuti langkah panjang BJ.

---

"OK. Good job!" Seru Sutradara sambil berdiri senang. Akhirnya syuting hari ini selesai.

Teo menuju ke mobil van dan duduk paling pojok. Mereka harus kembali ke management.

BJ duduk menyebelahinya.

"Kau lelah?"

Teo menanggapi BJ dengan anggukan. Suasana dalam dirinya tengah kacau diiringi kerinduan di hatinya.

---

Teo terduduk di bangku taman bawah kantor, dekat asrama management. Sungguh tidak biasa mengingat waktu masih menunjukkan pukul tiga pagi.

"Teo? Kamu sedang apa di sini? Kau tak lihat? Ini bahkan baru jam tiga pagi," ujar BJ sambil menunjukkan jam tangannya.

"Aku menunggu James. Kami akan beli kopi bersama."

"Kalau begitu jaga diri kalian. Setelah dapat kopi, langsung pulang."

"Yap, Kapten."

BJ berlalu masuk. Sementara udara dingin semakin menusuk kepalanya, alisnya menaut memandang layar handphone yang terus memutar video cctv di apartement, tapi seseorang yang Ia cari tak kunjung terlihat. Ia semakin merasa cemas.

Teringat kembali terakhir kali dia bertemu dengan wanitanya. Sebuah moment yang sangat buruk karena dia sedang bersama rekan kerjanya. Teo mungkin saja bersikap biasa dengan aktris yang dipasangkan dengannya, namun Irene, aktris itu terlihat begitu dekat bergelayut di lengannya.

Dia sangat ingin melepaskan tangan aktris yang tengah menyimpul lengannya. Apa kata manager saat itu terjadi? Rasanya tidak nyaman. Hingga akhirnya dia menatap sepasang manik hitam yang berkilau. Wajah itu memperlihatkan ekspresi terkejut dan kecewa.

John, pemilik pesta ini semakin memperburuk suasana saat memperkenalkan Phyta kepada Teo dan Irene. Semburat lukanya terkilat jelas dalam sinar matanya. Meski Teo tahu wanitanya berusaha menutupi dengan rapi.

Phyta berbalik dan langkahnya mulai terlihat aneh. Sebentar saja Dia dapat merasakan getaran lantai akibat badan kekasihnya terhempas ke lantai. Dengan darah segar mengalir di sekitar kakinya.

Hati Teo terasa hancur...

"Jangan mendekat. Ingat project ini bukan hanya untukmu," bisik Irene sambil mencengkeram lengan baju Teo. Langkahnya terpaku. Kebimbangan yang sangat Dia sesali seumur hidup.

Hingga saat ini, Ia kehilangan jejak Phyta. Pujaan hatinya tak ada di cctv apartement, tukang parkir samping toko juga tak pernah mengabarinya lagi. Kemana dia?

"Teo?"

"Ah ... Kau sudah datang, James."

"Hei aku datang dari sepuluh menit lalu, Kamu saja yang sibuk melamun."

"Maaf."

"Ceritakan padaku. Aku tahu kamu ingin membaginya denganku."

"James ... Istriku menghilang."

"Apa?!"

"Puluhan pesan chat dari semua media sosial yang Phyta miliki sudah kuhubungi namun tak ada satupun respon. Cctv di apartement dari dua hari lalu tak terlihat dirinya. Dan di tokopun nihil."

"Kamu sampai pasang cctv? Sungguh ... "

"Aku harus bagaimana sekarang?"

"Telepon polisi," usul James.

"Andai aku bisa meminta polisi mencarikan. Pasti dari awal aku meminta bantuan polisi."

"Haish! Baiklah. Kapan terakhir kali kamu betemu dengannya?"

"Dua hari lalu di pesta kak John sepulang kita dari Korea. Dia tampak sangat cantik dn angun serta pucat. Aku serba salah karena telah datang bersama Irene."

"Astaga!"

"James, aku merasa semakin gila saat dia undur diri dan berjalan gontai lalu jatuh membentur lantai. Ada darah mengalir di sekitar kakinya dan aku tak bisa apa-apa. langkahku beku. Ada belasan kamera on menyorot pada kami karena kak John berada di dekatku."

"Ya! Teo. Segera tanyakan pada John!"

"Aku takut kak John tak tahu di mana Phyta berada." Air mata Teo mulai mengalir.

"Coba dulu. Teo. Aku rasa feelingmu benar tentang kehamilan Phyta. Tanyakan pada John di mana keberadaan terakhirnya. Phyta istrimu kan? Ibu dari anak-anakmu?" bujuk James dengan tenang. Teo mengangguk dan mulai menggapai ponselnya.

"Hello, kak John ini aku. Teo."

"Hai Teo. Susah sekali mencari kontakmu. Kamu pasti sibuk ya? Ini saudarimu, Phyta masih di rumahku. Apakah kamu bisa menyempakan waktu datang menjenguk, hmm ... saudaramu?"

Seketika Teo berdiri dari duduknya.

"Baiklah. Aku akan kesana."

"Ada?" cemas James.

"Dia masih di rumah kak John. Bisakah kamu sampaikan ke kak BJ sebelum kalian ke gereja?"

"Baiklah," ucap James.

"Pergilah!" Teriak BJ dari kejauhan. Teopun berlari memeluk BJ dan pergi.

---
Adzan subuh mengiringnya melesat pergi. Dia menuju masjid Istiqlal dan menunaikan sholat subuh. Meresapi setiap sujud penuh syukur kepada Tuhan karena telah menunjukkan keberadaan istri tercintanya.

Setelahnya, Dia pacu mobil dengan kecepatan tinggi menuju kediaman keluarga Wiraningrat.
Air mata terus mengalir. Hatinya masih terasa perih karena kekejaman diri.

Maafkan aku Phyta ....

-Rey-
(050817)

Sorry for late update. Masih setia dengan Teorema kan? Hehehe ... ada banyak keseruan yang akan menanti. Terima kasih untuk meninggalkan jejak dan menyemangati Rey melanjutkan cerita ini. See you ^^/

TeoremaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang