19. Show you

490 40 7
                                    

Aku berjalan dari dapur menuju kamar, terlihat Teo masih meringkuk di kasur, berlapis selimut tebal. Hidung mancungnya berujung merah, bekerja keras menyesuaikan suhu dingin udara menuju tubuhnya.

"Bangunlah, Pak Teo," bujukku sambil duduk di tepian ranjang dan mengelus rambut brownnya.

"Lima menit lagi Sayang," gumamnya.

"Air hangat untuk mandi sudah siap. Bangunlah."

"Semenit lagi ...,"

"Ya! dia menendang," kagetku tiba-tiba sambil memegangi perutku.

Teo duduk seketika untuk ikut memegangi perutku. Kutuntun telapak tangan kanannya yang besar itu untuk sampai pada benjolan di perut akibat ulah kaki putranya. Meski wajah Teo masih bergaris bantal, juga mata yang belum terbuka sempurna, namun dia tersenyum manis dan melihat ke arahku takjub.

"Saudaranya tak mau kalah," bisikku sambil memegang sisi perut sebelah kanan. Telapak tangan kirinya menyusul untuk menggapai bagian kanan perutku. Kaki mungil di dalam perutku bergerak, sungguh mengejutkan kami.

"Kalian ingin membangunkanku ya?" bisik sang Ayah di dekat perutku. Kemudian disusul kecupan-kecupan manis pada perut yang tertutup. Aku tersenyum akan sikap manisnya. Dia ayah yang bisa membuat hatiku lumer kapanpun.

"Bangunlah, mandi."

"Baiklah istriku tercinta."

Dia mengecup pipiku cepat dan ekspresi salah tingkahnya dapat terekam oleh mataku, Iapun berlari menuju kamar mandi sambil menutupi pipinya yang bersemu merah.

"Sayang, handukku tertinggal," teriaknya dari dalam kamar mandi. Dasar Teo! Sikapnya seperti bocah, imut.

-

Teo melingkarkan tangannya memelukku dari belakang, bau wangi sabunnya menyeruak kedalam hidungku. Aromanya menenangkan hati.

"Sarapan apa hari ini, Sayang?" tanyanya dengan masih enggan melepaskan pelukannya dariku.

"Dadar telur dan sosis," jawabku sambil mengiris daun bawang.

"Sini kubantu mengocok telur."

"Iya, jangan lupa beri sedikit garam."

"Oke, Sayang." Dia bersemangat sekali membantuku kali ini. Aku melihat ke arahnya sekali-sekali. Segera kupasang wajan dan menyalakan kompor.

Teo tersenyum canggung saat menjatuhkan cangkang pada mangkuk adonan telur, kemudian mengambilnya dengan tangan. Tatapannya menyiratkan harapan agar aku tak marah. Aku tersenyum kepadanya,

"Kau terlihat bersemangat, adakah yang menggembirakan?"

"Tentu saja ..., Istriku semakin hari bertambah cantik. Oia, nanti sore aku akan menjemputmu di Butik. Kita akan foto berdua, hmm, berempat maksudku."

"Baiklah, Ayah Teo,"jawabku dengan senyuman untuk menggodanya, kami sama-sama salah tingkah.

"Ah, panas sekali di sini. Apa apinya terlalu besar?" Dia rukuk ke arah kompor di depanku sambil menyembunyikan senyum malu-malu. Akhirnya dia malah mengecup perutku dua kali.

"Kapan jadwal USG mereka, Sayang?" tanyanya sambil mengelus perutku lembut, dan kembali berdiri.

"Besok habis Dzuhur," ujarku sambil menggoreng sosis.

"Oke. Aku akan ijin besok untuk mengantar kalian."

"Yeey," teriakku bersemangat. Dia memperlihatkan senyum kotaknya.

-

Aku datang ke sebuah tempat yang ditunjukkan orang berbaret hitam kemarin. Meski sangat beresiko, namun aku merasa sangat penasaran. Setelah sampai di sana, ada seseorang yang menyapaku.

"Apakah nona yang diminta Om Joyo untuk menjadi figuran?" seseorang itu terkejut kala aku menengok, Hose.

"Hai, Hose."

"Hah Kak Phyta? Kakak sedang apa di sini? Mungkinkah kak Phyta yang mengisi figuran kali ini?"
Kuulaskan senyum pada Hose.

"Iya, ssstt, jangan keras-keras. Kau membuat hampir semua orang di sini menatap kemari," kataku memperingatkan Hose yang biasa heboh ini.

"Ahaha, maaf. Oh iya, Teo ada di sana. Kau ingin bertemu dengannya?"

Aku berdiri dan mengikuti arah pandang Hose. Priaku sedang duduk di kursi berhadapan dengan seseorang, gadis cantik artis ibukota terkenal. Senyumku memudar seketika ... .

Meski dari jauh, aku dapat melihat kehangatan dari senyum Teo saat mengobrol dengan Irene Rasya. Aku kembali duduk dan meremas teks skrip yang diberikan kepadaku. Hose melihat kebelakang dengan pandangan terkejut.

"Kak," panggilnya khawatir.

"Aku baik-baik saja." Senyumku terlukis tulus pada Hose.

-

"Action!"

Aku melihat aksi Teo keluar dari mobilnya dan nampak gusar sambil menatap ban yang mengempis. Kemudian Irene keluar dari mobil dan berbincang sebentar. Taksi datang untuk menjemput Irene pergi, sementara Teo menghentikan bus dan mulai naik.

"Cut!"

Sang sutradara bersama beberapa kru menuju bus yang diset sedemikian rupa untuk shooting di scene berikutnya.

Aku menunggu dari jauh, melihat proses dengan cermat, sesekali beberapa tendangan kurasakan. 'Kalian tidak bisa tenang, apa kalian juga merasa cemburu?' batinku sambil mengelusi perutku.

"Apa kau siap, Nyonya?" tanya seorang kru. Aku mengangguk pelan, kugigit bibir bawahku panik.

Aku menaiki bus, dengan hati-hati. Bus berjalan cukup kencang dengan situasi cukup penuh. Aku agak berdesakkan dengan kru dan semakin terdorong ke depan. Rasanya seluruh instingku mengajakku lebih peka terhadap situasi mempertahankan diri.

Tanganku memegang jok kursi milik Teo. Dia bersandar di telapak tangan kiriku, hingga dia menengok sekilas dan berdiri.

"Duduklah Nyonya," dia berdiri mempersilakanku duduk di jok yang ia duduki. Sampingku ada seorang nenek yang terus menghadap ke arah jendela.

"Terima kasih," bisikku takut ketahuan suaraku. Dia belum menyadarinya, sementara pandangannya sekarang menuju ke depan. Astaga! Aku melupakan dialogku.

"Cut! Dialognya Nyonya!" seru Sutradara berteriak.

"Action!"

"Terima kasih, Tuan. Kau sangat baik dan tampan," kataku agak bergetar, kugigit bibirku grogi. Aku tak memandang ke arahnya hingga dia menoleh ke arahku.

Kedua matanya membulat sempurna. Dia menarik napas panjang kemudian membulatkan mulutnya. Aku tersenyum kikuk ke arahnya. Mulutnya mengisyarakatkan kata, ' Sayangku, kenapa?' yang kemudian kubalas senyuman.

"Sama-sama Nyonya. Pasti sangat berat membawa dua buah cinta ini. Bolehkah aku mengelusnya?" Katanya di luar dialog. Dia mengelus perutku lembut dengan pandangan yang tak pernah lepas dari mataku. Hingga aku merasa, Teo terlalu berlebihan.

"Ah, saya turun di sini. Terima kasih. Stop!" Aku berdiri dan berangsur menuju pintu keluar. Dia memberikan jalan sambil menatap hingga aku keluar dari Bus.

"Cut! Oke selesai hari ini!" teriak Sutradara setelah Teo turun dari bus.

"Terima kasih semua!" Seru semua kru dan artis yang berada di sini. Hose duduk menemaniku sementara yang lain tak begitu jauh dariku. Teo hendak mendekat padaku, namun seseorang mendekat ...

Mama?

-Rey-
(080118)

Hai, kembali lagi dengan cerita Teo di tahun yang baru ... 😁/. Semoga mengobati rasa rindu pembaca karena Rey lama tak up. Maaf ... Jangan lupa vote dan comment ya 😉/

TeoremaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang